Rekonstruksi Budaya

Oleh S. Prasetyo Utomo

REKONSTRUKSI mestinya menjadi obsesi birokrat, pemilik modal, dan seniman-budayawan untuk membangun budaya Jawa Tengah.

Rekonstruksi merupakan salah satu pijakan daya cipta, yang mengalirkan akselerasi budaya ke hadapan kehidupan masyarakat mutakhir.

Kita mengenal candi, museum, sastra, drama dan wayang yang mewarnai atmosfer kultur kehidupan sehari-hari ke dalam daya cipta budaya dengan kekuatan estetika dan selera pasar.

Rekonstruksi dipertaruhkan sebagai penjelajahan ekspresi daya cipta birokrat, pemilik modal, dan seniman budayawan.   

Makna rekonstruksi adalah menata kembali struktur-struktur yang telah didekonstruksi dalam rangka menciptakan “pusat” baru.

Rekonstruksi dapat ditafsirkan sebagai proses penataan ulang secara terus-menerus. Rekonstruksi harus selalu ditempa atau diuji penggunaannya dalam masyarakat lewat perkembangan waktu.

Rekonstruksi yang tidak teruji masyarakat tidak layak untuk hidup. Fungsi rekonstruksi: (1) memahami aspek perubahan, adaptasi, dan apa yang bertahan dari karya budaya, (2) karya budaya merupakan hasil dari gagasan dan proses tingkah laku, (3) mempelajari dan mengembangkan budaya lokal, tidak terpengaruh budaya asing.    

Saya takjub pada gagasan-gagasan budaya yang terus berkembang. Produk budaya mesti terbuka terhadap berbagai bentuk perubahan, perluasan, penganekaragaman, pengembangan, pembaharuan, dan interpretasi-interpretasi baru yang lebih kaya.

Rekonstruksi menghadapi budaya dengan gairah, hasrat, kehendak, ekstasi yang mendorong bagi penjelajahan, pencarian, sintesis-sintesis baru, sehingga menciptakan peluang kreativitas, dimanitas, dan produktivitas.    

                                     ***  

SAYA tertarik pada kekuatan rekonstruksi peninggalan candi, seperti Borobudur dan Prambanan.

Candi Borobudur dan Prambanan yang mengalami pemugaran, disertai dengan rekonstruksi budaya untuk membangkitkan gairah kreativitas di sekeliling candi.

Tari Roro Jonggrang yang dipentaskan di Prambanan merupakan ekspresi rekonstruksi tari yang berasal dari mitos dan mencitrakan sintesis baru antara akar budaya tradisional dengan seni modern.    

Kita perlu meningkatkan manajemen pengelolaan untuk mengembangkan meseum di Jawa Tengah.

Rekonstruksi museum perlu mencontoh Singapura yang sedikit koleksinya, tetapi memiliki narasi dan manajemen yang baik, museum berkembang dengan pesat.

Kita perlu bersyukur memiliki beberapa museum yang dikategorikan favorit oleh wisatawan seperti Museum Batik Danar Hadi, Museum Kereta Api Ambarawa, De Tjolomadoe, dan Museum Prasejarah Sangiran.     

Kekuatan rekonstruksi bidang sastra lebih bertumpu pada para sastrawan, komunitas, dan institusi seperti Balai Bahasa.

Tentu saja para sastrawan seperti Darmanto Jatman, Nh. Dini, Ahmad Tohari, dan Triyanto Triwikromo mesti mempertaruhkan daya cipta kesastrawanan mereka dari kegigihan mencari ide, menuangkan daya cipta, dan melakukan publikasi untuk mengangkat martabat dan kewibawaan di tengah sejarah sastra Indonesia, bahkan dunia.

Diperlukan dukungan yang lebih besar dari Balai Bahasa dan lembaga pemerintah untuk menghidupkan kegairahan penciptaan sastra, penerbitan buku, dan publikasi di tengah masyarakat.

Kita perlu mengembangkan kegiatan serupa Ubud Writers and Readers Festival, sebuah festival sastra tahunan yang diadakan di Ubud, Bali.

Kegiatan ini merupakan festival sastra terbesar dan paling bermakna di Asia Tenggara, mendatangkan hingga 170 penulis dan seniman dari seluruh penjuru dunia.     

Kesadaran untuk mengembangkan drama masih perlu ditingkatkan di Jawa Tengah. Selama ini perkembangan drama ditopang semangat komunitas teater yang dijaga sutradara.

Begitu sutradara teater meninggal dunia, grup teater itu mengalami kebangkrutan. Teater Lingkar merupakan kelompok teater yang paling populer di Jawa Tengah.

Mas Ton merintis pergelaran karyanya pada 4 Maret 1980. Ia gigih melakukan pencarian naskah, melatih para aktor, melakukan pementasan-pementasan.

Dengan filosofi “teteg, tekun, teken, tekan” grup teater ini menjadi pioner untuk terus berkarya dengan ciri khas dan pencarian-pencarian dramaturgi seiring dengan perkembangan zaman.  

Seiring dengan perkembangan teater modern, sebenarnya kita memiliki sejumlah teater tradisional yang eksotis, dan memungkinkan untuk terus berkembang, seperti ketoprak, wayang orang, srandul, dan dalang jemblung.

Hanya ketoprak dan wayang orang yang masih sesekali dipentaskan, sedangkan srandul dan dalang jemblung sudah jarang dipergelarkan di tengah masyarakat modern.

Kita perlu belajar dari seni tradisional Jepang, kabuki, yang terkenal dengan kostum mewah, riasan wajah mencolok, dan pertunjukan yang menggabungkan lakon sejarah, lakon kontemporer, serta dramatari.

Kabuki berkembang sebagai bentuk seni hiburan yang terbatas pada kelas atas. Kabuki berkembang pesat menjadi bentuk seni yang ditetapkan untuk menjaga integritas budaya bangsa.         

Dalam pertunjukan wayang kulit, kita memiliki Ki Enthus Susmono yang menyusupkan rekondtruksi dalam setiap pergelarannya.

Ia menciptakan sanggit, merekonstruksi lakon, mencipta gendhing dan tembang untuk memberi kesadaran pembaruan yang diselaraskan pergeseran estetika di tengah masyarakat.

Bahkan ia mengekspresikan pergelaran wayang kulit dengan bahasa satire yang menyentuh konteks sosial-budaya masyarakat mutakhir.

Sepeninggal beliau, belum lagi muncul dalang dengan kemasan rekonstruksi yang setara dengannya.

Karena itu, perlu peran pemerintah terhadap pergelaran wayang kulit untuk: (1) membuat kebijakan budaya yang mendukung pengembangan wayang, (2) memberi fasilitas promosi pementasan wayang kulit, (3) menampilkan wayang pada acara-acara besar nasional, dan (4) mendukung upaya kolaborasi untuk mendekatkan pergelaran wayang pada generasi muda.           

                                      ***

KETIKA birokrat, pemilik modal, dan seniman-budayawan melakukan rekonstruksi budaya dan diterima kalangan luas masyarakat, sesungguhnya tercipta tiga keuntungan.

Pertama, karya seni-budaya dinikmati masyarakat luas. Kedua, tumbuh semangat daya cipta yang membawa napas pembaruan dalam atmosfer kehidupan masyarakat.

Ketiga, seni budaya ,akan merasuk ke dalam jiwa masyarakat tanpa tekanan, mengalir dalam kesadaran hati nurani mereka. 

Sisi kelebihan seniman budayawan yang mengekspresikan daya cipta mereka melalui rekonstruksi budaya, akan terus meningkat apresiasi masyarakat dalam kurun waktu tertentu.

Ekspresi seni-budaya akan terus-menerus diperbaharui, dalam kegairahan daya cipta. Diharapkan peran serta birokrat dan pemilik modal sebagai agen kebudayaan untuk mengiringi langkah-langkah yang ditempuh seniman budayawan.

Pemberdayaan Dewan Kesenian Jawa Tengah menjadi penting untuk memunculkan karya kanon, yang mencitrakan budaya adiluhung masyarakat.  

Mestinya seniman dan budayawan mengekspresikan daya cipta dengan kekuatan estetika, kontemplasi, keunikan, kompleksitas makna, yang melampaui ruang waktu.

Dengan demikian, karya seni budaya itu bisa dinikmati masyarakat lintas zaman, bahkan lintas negara, diakui sebagai karya adiluhung dunia.

Tentu saya tidak berlebihan bila menutup catatan akhir tahun ini dengan harapan lahirnya karya seni-budaya Jawa Tengah yang dihormati masyarakat dan diapresiasi penikmat dunia sebagaimana kabuki di tengah perubahan zaman, untuk menjaga integritas budaya bangsa.

                                       ***

*) S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes