Religiusitas Zaman Gelap

Refleksi S. Prasetyo Utomo
Refleksi S. Prasetyo Utomo

Religiusitas telah lenyap dari hati nurani penguasa. Religiusitas merupakan salah satu pijakan yang mengalirkan kebijaksanaan ke hadapan kehidupan masyarakat. Kita mengenal begitu banyak kecurangan, manipulasi, perampasan hak, keputusan undang-undang yang berlawanan dengan demokrasi, dan pajak yang membawa kesengsaraan rakyat, Tanpa religiusitas yang menerangi tahta kekuasaan, kehidupan sehari-hari rakyat terjerumus ke dalam kenestapaan. Religiusitas diperlukan sebagai cahaya kehidupan yang gelap dalam Zaman Kalabendu.    

Makna religiusitas adalah ekspresi spiritual seseorang yang berkaitan dengan keyakinan, nilai, hukum dan ritual. Religiusitas juga dapat diartikan sebagai potensi untuk beragama atau berkeyakinan  kepada Tuhan. Fungsi religiusitas: (1) membantu membentuk identitas individu, (2) memberikan kerangka kerja untuk pandangan dunia, nilai-nilai, dan keyakinan, (3) membantu mengembangkan dimensi spiritualitas individu.    

Saya melihat tabir gelap kekuasaan kita serupa Lembah Kelelawar. Dalam ruang gelap, kelelawar akan memangsa apa saja yang menjadi sasarannya. Tak peduli cara memangsa itu akan merampas buah-buah yang dirawat rakyat dengan penuh kecintaan. Tatapan mereka sangat tajam dalam gelap, dan cahaya hanya akan menyilaukan mata. Mereka sengaja menciptakan atmosfer ruang gelap agar dapat memangsa apa saja.   

*** 

Telah berkembang kontradiksi dalam tatanan kehidupan bangsa ini. Kita dikenal sebagai bangsa yang religius. Akan tetapi tanpa religiusitas terjadilah praktik kekuasaan yang menampakkan perangai anti-kritik. Kita dalam atmosfer ruang gelap, sebuah Zaman Kalabendu, masa kehidupan yang sulit, masyarakat sengsara, dan angkara murka kekuasaan terselubung kebijaksanaan.   

Tanda-tanda Zaman Kalabendu terhampar dalam kehidupan kita sehari-hari. Pertama, kekuasaan dan masyarakat sangat mengutamakan uang dan harta benda. Kedua, rasa kemanusiaan menjadi sangat tipis dan dianggap tak penting. Ketiga, kondisi masyarakat terlihat stabil, tetapi tidak didasari dengan kesadaran. Keempat, perilaku salah tidak disadari, dianggap benar karena sudah terbiasa.

Gerakan masyarakat sipil untuk mengembalikan kesadaran religiusitas menjadi sangat mendesak dilakukan untuk mencegah Zaman Kalabendu.  Kehadiran Cak Nun dengan pergelaran Kiai Kanjeng dan jamaah anak-anak muda sungguh diperlukan saat ini. Tiap pementasan Kiai Kanjeng sebenarnya merupakan suatu gerakan religiusitas yang menawarkan setidaknya empat hal terhadap kekuasaan.         

Pertama, dengan bahasa satire Cak Nun memberikan kesadaran moral pada para penguasa untuk berempati terhadap rakyat. Ke dua, religiusitas yang ditawarkan Cak Nun menyentuh kesadaran intuisi, bashirah, agar para penguasa melihat kehadiran keilahian dalam alam semesta, kehidupan manusia, dan lingkungan. Ke tiga, Cak Nun menawarkan kesadaran bahwa kehidupan manusia itu fana, akan sirna pada suatu saat, dan manusia akan menuai pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta. Ke empat, ia merindukan keselamatan jiwa rakyat yang memiliki ketenangan, ketenteraman, dan kebahagiaan.

***

Sesungguhnya gerakan spiritual seperti yang dilancarkan Cak Nun memberikan cahaya penerang bagi para penguasa untuk kembali menjadi tokoh yang memanusiakan rakyatnya. Bukan lagi mengikuti perilaku kelelawar yang menerkam mangsa dalam gelap ruang, tanpa mempedulikan nasib rakyat. Ia mengajak para penguasa untuk membawa rakyatnya pada Zaman Kalasuba.

Zaman Kalasuba yang secara tersirat dirindukan Cak Nun ditandai dengan kehidupan rakyat dalam keadaan stabil, adil dan makmur, pemimpin berpegang teguh pada prinsip dan tidak lagi menjadi boneka dari dalang maupun kekuatan negara asing.  Akan tetapi, sungguh layak disayangkan, tidak semua pemuka agama memiliki kesadaran religiusitas sebagaimana Cak Nun. Beberapa tokoh yang mengaku ulama justru menjadi pendukung pusat kekuasaan, memobilisasi massa, secara kasar dan sombong menginjak martabat orang-orang kecil. Atau, ulama yang mestinya menjadi agen penggerak religiusitas justru memasuki ruang gelap kekuasaan, mencari keuntungan bagi diri sendiri dan keluarganya.  

Lalu, kepada siapa kita mesti bersandar untuk melakukan gerakan religiusitas agar berakhir zaman gelap Kalabendu?

*) S. Prasetyo Utomo, Sastrawan, Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.