Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang Kedepankan Aspek Estetika

Pembangunan ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Semarang sedang terus dilakukan, mulai dari pembangunan taman baru hingga regenerasi taman lama. Pembangunan taman-taman ini rencananya dilakukan secara terprogram dalam sebuah Roadmap.


Pemerintah Kota Semarang juga membangun dna menempatkan karya patung dan objek estetis pada taman-taman yang dibangun untuk menambah nilai estetikanya.

Kepala Bidang Pertamanan dan Pemakaman, Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) Kota Semarang, Murni Ediati mengatakan jika program ini adalah bagian dari rencana penataan kota yang berfungsi untuk mempercantik Kota Semarang.

"Karya-karya patung itu beberapa di antaranya mengisi RTH di Kota Semarang misalnya saja Taman Piere Tendean," imbuh Pipie, sapaan akrabnya, Selasa (23/11).

Pipie menyebut sesuai dengan regulasi, kapasitas RTH di Kota Semarang hingga saat ini masih belum tercukupi. Sesuai dengan aturan pemerintah RTH di sebuah kota seharusnya ada 30 persen dari luasan wilayah, yang terbagi dari 20 persen lahan publik dan 10 persen lahan privat.

"RTH setidaknya memiliki 6 fungsi, yakni, fungsi ekologis, rekreatif, estetis, planologi, pendidikan, dan fungsi ekonomis. Pada fungsi estetis itulah maka kehadiran karya seni patung menemukan titik relevansinya," ungkapnya.

Sementara itu kurator seni rupa, Kuss Indarto menyambut baik antusias kehadiran karya patung yang mulai merebak di taman - taman di Kota Semarang. 

"Di samping akan menambah bobot nilai humanis dan estetika kota Semarang, karya-karya patung tersebut seperti menyambung kembali sejarah yang terpotong setelah kehadiran patung atau monumen Tugu Muda yang telah hadir tahun 1953 atau lebih dari 65 tahun lalu," terang Kuss.

Kuss mengatakan setelah monumen Tugu Muda memang ada beberapa karya patung atau karya tiga dimensi di kota Semarang. Namun, lanjutnya, nilai monumentalitasnya jauh di bawah Tugu Muda. Selain itu juga proses inisiasinya tidak dilakukan dengan sangat serius dan terencana dengan baik oleh Pemerintah. 

"Nah yang kali ini, ada keseriusan dan perencanaan yang lebih baik yang dilakukan oleh Disperkim kota Semarang," imbuhnya.

Terkait dengan pertimbangan artistik dan estetik, Kuss menilai keberadaan fisik karya yang telah mulai dibangun, seperti patung Pierre Tendean, relatif mampu memenuhi kriteria kelayakan sebuah karya seni di ruang publik. 

Bahkan secara teoritik, sebuah karya patung di ruang publik membutuhkan beberapa hal, misalnya saja safety atau keamanan lingkungan masyarakat, pemilik lahan dna otoritas kota.

"Ya setidaknya karya berada di area yang lapang. Lalu karya yang secara teknis desain patung layak berada di public space dan secara teknis relatif dapat dipasang dan dibongkar oleh senimannya," lanjutnya.

Lebih lanjut, masalah perawatan terhadap karya seni di ruang publik ini berhubungan dengan material, usia karya, kondisi cuaca sekitar, serta masalah kedaruratan lain. Sejauh mana public art dapat bertahan dengan cuaca dan iklim tertentu akan menentukan cara perawatannya.

"Masalah pemasangan karya berikut pemeliharaan, transportasi, dan harga bahan-bahan untuk karya patung di ruang publik ini sebaiknya mencerminkan ketepatan penggunaan sumber daya umum termasuk pendanaan, komitmen pemilik karya dan senimannya," bebernya.