Tayub, Sedekah Bumi Desa Rahtawu Untuk Kesejahteraan Masyarakat

Masyarakat desa dianggap selalu kental melestarikan adat dan kebudayaan yang berlaku secara turun-temurun dari nenek moyang.


Berbagai upacara tradisi menjadi salah satu gelaran khas desa yang sarat adat. Bukan hanya sebagai selebrasi saja, masyarakat desa mengambil sikap 'lelaku' dalam setiap peristiwa budaya di wilayahnya.

Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Masyarakat berbondong-bondong menggelar prosesi adat Sedekah Bumi yang diperingati setiap Hari Sabtu Kliwon, Bulan Apit dalam penanggalan Jawa.

Kepala Desa Rahtawu, Sugiyono, mengatakan jika upacara adat ini selalu digelar setiap tahun.

Menurut dia, sedekah bumi merupakan ritual tahunan untuk memberikan penghargaan atas anugerah Tuhan melalui kesuburan alam dan upaya penolakan terhadap segala bencana.

"Ini bentuk ucapan syukur kami kepada Tuhan. Bahwa kami selalu diberi keselamatan dan dijauhkan dari bencana. Selain itu, juga atas kesuburan tanah yang kami olah," kata Sugiyono saat ditemui, Sabtu (3/7) malam.

Sugiyono menuturkan, setiap gelaran sedekah bumi, pihaknya selalu menggelar acara Tayub. Menurut dia, kegiatan tersebut merupakan tradisi yang sudah diturunkan oleh nenek moyang sejak masa lampau.

Dalam prosesinya, gelaran Tayub tersebut juga tidak bisa dilaksanakan secara sembarangan. Menurut Sugiyono, jika salah dalam prosesi maka bisa berakibat fatal seperti, gagal panen.

"Dulu pernah, saat gelaran tayub dihadapkan ke arah selatan. (Posisi) itu, membelakangi makam Mbah Lokajaya, akhirnya gagal panen. Harusnya menghadap Utara, itu yang sampai sekarang masa kepemimpinan saya terus kami jaga," tutur dia.

Menambahkan, Ketua Panitia sedekah bumi, Saniko, mengatakan persiapan gelaran tradisi tersebut dilakukan sebulan sebelum acara.

Menurut dia, hal itu perlu dilakukan agar acara berlangsung lancar tanpa kendala.

Ketua Dusun Wetan Kali itu menerangkan, sebelum acara inti, masyarakat sebelumnya menziarahi makam-makam leluhur.

Kemudian, dilanjutkan dengan pemotongan hewan Kerbau untuk diolah dan disantap bersama.

"Setelah itu, acara dimulai sabtu sore dengan memulai hajat dan menggelar prosesi Uler Kambang oleh para penari lalu memberikan sampur (selendang tari). Kemudian, baru gelaran dimulai hingga malam," terangnya.

Saniko mengatakan setiap gelaran sedekah bumi selalu diikuti dengan doa-doa masyarakat.

Kata dia, doa selalu bergantung pada situasi dan kondisi alam sekitar. Menurutnya, semua doa dibumbungkan untuk kebaikan masyarakat.

"Misal seperti sekarang ini, musim kemarau. Masyarakat meminta hujan agar diturunkan agar tanaman mereka dapat air. Jika musim hujan, masyarakat meminta saat hajat dilangsungkan dapat diberi keamanan," pungkasnya.