Tradisi Wahyu Kliyu Ditetapkan Menjadi Warisan Budaya Tak Benda Tingkat Nasional

Tradisi sebar apem, yaitu kue yang berbahan tepung beras ini tidak hanya ada di Jatinom, Klaten yang dikenal dengan tradisi Yaa Qowiyyu. Wilayah Karanganyar juga memiliki tradisi serupa, tepatnya di wilayah dusun Kendal, Jatipuro berupa tradisi Wahyu Kliyu.


Tradisi Wahyu Kliyu, diperingati setiap bulan Suro tanggal 15  sebagai tradisi upacara tolak bala.  Sementara tradisi Yaa Qowiyyu dilaksanakan setiap tanggal 15 Sapar, bulan kedua dalam kalender Jawa. 

Kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan penghargaan tradisi Wahyu Kliyu di Jatipuro, Karanganyar sebagai warisan budaya nasional tak benda.  

Tradisi Wahyu Kliyu rutin diadakan sebagai wujud rasa syukur warga Dusun Kendal Lor dan Dusun Kendal Kidul, Kecamatan Jatipuro. Diawali dengan pertunjukkan wayang kulit.

Tepat pukul 24.00 WIB, Bupati Karanganyar Juliyatmono melempar apem pertama kepada warga yang hadir dan bersama-sama berucap wahyu Kliyu secara berulang hingga 344 apem habis tak bersisa. 

Biasanya tradisi ini dihadiri ribuan warga dari berbagai daerah dimeriahkan dengan kirab budaya. Namun pandemi Covid dan pemberlakuan PPKM level 4, tradisi tahunan ini digelar secara sederhana dan tidak melibatkan banyak orang.

Bupati Karanganyar Juliyatmono sebut tradisional Sebaran Apem, biasanya disebut Wahyu Kliyu ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda Tingkat Nasional.

"Ditandai dengan diberikannya Piagam Penghargaan oleh Kementerian Pendidikan dan  Kebudayaan sekaligus sebagai bentuk pengakuan secara nasional bahwa Wahyu Kliyu merupakan upacara adat unik dan menarik," jelas Juliyatmono, Kamis (26/8). 

Tradisi ini menurut orang nomor satu di Karanganyar sesuai kearifan lokal setempat merupakan tradisi tolak bala (tolak segala macam bahaya). Apem itu dari kata apuro atau permohonon ampun. 

"Dengan momen ini kita berdoa semoga Allah segera melenyapkan Covid-19,” harap Bupati.