Vonis Harvey Moeis: Tuai Kritik Kritis

Harvey Moeis. Dokumentasi Kejaksaan Agung Republik Indonesia
Harvey Moeis. Dokumentasi Kejaksaan Agung Republik Indonesia

Jakarta - Vonis hukuman 6,5 tahun penjara yang dibacakan oleh Hakim Eko Aryanto, di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (23/12) kepada terdakwa kasus korupsi tambang timah, Harvey Moeis tuai kritik.

Sebagaimana diketahui, Harvey Moeis yang bertindak sebagai Wakil dari PT Refined Bangka Tin (RBT) diduga menjalin kerja sama ilegal dengan PT Timah melalui penyewaan shelter.

Kontrak yang dilakukan dinilai melanggar prosedur hukum dan Harvey dinyatakan bersalah melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi vonis yang dijatuhkanya mengundang banyak kritikan.

Salah satunya disampaikan oleh Rudianto Lallo, politikus Nasdem dan Anggota Komisi III DPR RI. “Seharusnya dihukum dengan tuntutan maksimal agar membuat efek jera.  Efek jera ini akan membuat orang lain takut untuk melakukan tindakan pidana korupsi,” kata Rudianto, Selasa (24/12).

Rudianto menyebutkan bahwa pengembalian asset menjadi hal penting dalam perkara yang telah merugikan negara sebesar Rp300 triliun ini. “Bagaimana pengembalian kerugian atau pemulihan asetnya, adalah hal paling utama bagi terdakwa korupsi,” ujar Rudianto.

Masih menurut Rudianto, bukan hanya putusan pidana yang akan memenjarakan terdakwa, tapi pengembalian asset yang disinyalir mencapai Rp300 triliun dari kasus ini dapat kembali ke negara.

Kritik kritis juga datang dari Hinca Panjaitan, Anggota Komisi III DPR RI yang menyatakan bahwa vonis yang dijatuhkan tidak sebanding dengan kerugian yang diakibatkan oleh ulah terdakwa.

Bahkan Hinca menyebut bahwa vonis hukuman 6,5 tahun penjara atas kasus korupsi dengan kerugian negara sebesar Rp300 trilyun dapat menjadi preseden buruk bagi sistem peradilan.

Lebih lanjut Hinca menyatakan bahwa kejahatan yang dilakukan komplotan Harvey memberikan dampak paling buruk bagi alam Indonesia dan merusak masa depan generasi muda negeri ini.

“Kasus korupsi kali ini bukan sekedar pencurian uang, tetapi perampokan masa depan,” tegasnya.

Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat ini menilai putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 6,5 tahun penjara yang djatuhkan pada Harvey jauh dari akal sehat. “Tuntutan jaksa yang 12 tahun saja sudah sangat ringan, pakai diskon pula,” kata Hinca geram.

“Putusan hukumannya tak sebanding dengan lingkungan Bangka Belitung (Babel) yang hancur, tambang ilegal yang merajalela dan rakyat menikmati hidup dengan warisan alam yang telah dirusak mereka,” lanjut Hinca. “Bagi rakyat Babel, seharusnya timah menjadi berkah tapi justru menjadi kutukan,” sesal Hinca.

Dari akademisi, Charles Simabura, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas (Pusako UnAnd) menilai vonis terhadap koruptor timah dapat melemahkan semangat pemberantasan korupsi.

“Putusan hakim pada kasus korupsi timah kali ini akan memperpanjang deretan vonis ringan perkara korupsi,” ujar Charles, Selasa (24/12).

Charles berharap JPU akan mengajukan banding dan memperkuat argumentasi agar dapat memperberat vonis hukuman sebelumnya.