Wacana BKPM Jadi Kementerian Investasi Berdampak Positif

Seiring bergulirnya wacana Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan menjadi Kementerian Investasi disambut publik ramai membincangkan hal tersebut.


Seiring bergulirnya wacana Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan menjadi Kementerian Investasi disambut publik ramai membincangkan hal tersebut.

Wakil Ketua Umum Kadin bidang Industri Makanan dan Peternakan, Juan Permata Adoe mengatakan, wacana BKPM bakal menjadi Kementerian Investasi akan berdampak positif pada alur ekpor dan impor di Indonesia.

Juan menguraikan, kewenangan yang dimiliki BKPM itu boleh dibilang tidak bisa menjamin investor akan mendapatkan dukungan dari pemerintah dalam bentuk suplay chain (rantai pasok) kebutuhan bahan baku industrinya. Artinya, para investor hanya sekadar daftar di BKPM sedangkan peraturannya ada di kementerian sektoral dalam hal ini Kemenperin, Kementan, Kemendag.

"Kenapa tidak boleh impor? Karena memang bahan bakunya harus butuh impor. Kemudian kenapa kita anti impor? Ternyata kita sekarang tanpa impor tak bisa ekspor," kata Juan dalam diskusi virtual Smart FM bertajuk 'BKPM Jadi Kementerian Investasi?', Sabtu (10/4), dikutip dari Kantor Berita RMOL.

Menurut Juan, impor merupakan konsekuensi logis dari ketergantungan sebuah negara yang mengikuti arus perdagangan pasar ekonomi global di era keterbukaan seperti saat ini.

"Karena apa? Inilah yang namanya ketergantungan dalam pasar ekonomi yang terbuka saat ini," tegasnya.

Atas dasar itu, karena Indonesia memproses dalam bentuk manufaktur bahan baku dan sebagian besar sudah mengambil dari negara lain, maka terpaksa harus melakukan impor. Sehingga, perjanjian antar negara yang sudah dibentuk oleh perdagangan dalam bentuk CEPA bisa berjalan.

"Jadi, economic partnership itu berjalan, suplay chain berjalan, industri yang diinvestasi juga aman. Nah ini perlu kementerian. Sehingga kewenangannya dia bisa menjadi simpul problem yang saat ini ada," pungkasnya.

Selain Juan, turut hadir narasumber lain dalam dia tersebut yakni pengamat ekonomi politik Fachry Ali, anggota Komisi XI DPR RI Sarmuji, dan pengamat APBN Hawali Rizky.