Wakil Ketua MPR, Dr. H. Arsul Sani, SH, MSi, Pr.M: Tumbuhkan Politik Kebangsaan yang Teduh

Wakil Ketua MPR RI, Arsul Sani. Foto: ist/net.
Wakil Ketua MPR RI, Arsul Sani. Foto: ist/net.

Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani meminta semua pihak untuk bersama-sama menumbuhkan politik kebangsaan yang teduh.


Pimpinan MPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP)  mengungkapkan, jika upaya menciptakan politik berbasis semangat kebangsaan yang diartikuasikan dengan ekspresi yang tidak emosional itu berhasil, maka akan tumbuh politik kebangsaan yang teduh dan berorientasi kepada kebersamaan.

“Untuk menyongsong tahun politik 2024 mari kita ajak rakyat berkontestasi tanpa ekspresi politik yang emosional sehingga tidak mengoyak persatuan kita sebagai anak-anak bangsa,” ujar Arsul Sani, dalam perbincangan dengan RMOL Jateng, Jumat (4/8).

Arsul Sani meminta narasi berbau politik identitas yang berlebihan dan bersifat memecah belah agar dihindari dalam menyongsong agenda Pemilu 2024 mendatang.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menjelaskan,  sebenarnya politik identitas sepanjang tidak memecah belah dan mengadu domba rakyat tidak perlu dilarang total. 

"Yang penting dan perlu dijaga bersama adalah ekspresi politik identitas harus proporsional. Negara dan bangsa ini terbangun dari berbagai identitas, karenanya tidak mungkin melarang ekpresi terkait identitas tertentu," paparnya. 

Arsul menjelaskan, politik identitas yang harus dibuang adalah yang membuka ruang intoleransi, eksklusivitas dan segregatif, apalagi yang mengarah pada tindak kekerasan.

“Selama ini yang berkembang seolah politik identitas itu adalah sesuatu yang total  harus dilarang, harus dibuang jauh-jauh, dan tidak boleh lagi dimunculkan dalam kegiatan politik maupun aktivitas kemasyarakatan apapun,” kata Arsul.

“PPP merasa perlu mengajak kita semua bahwa politik identitas yang seharusnya dihilangkan, dibuang adalah politik identitas yang membuka ruang-ruang intoleransi, eksklusivitas, segregatif atau pembelahan masyarakat. Juga politik identitas yang mengajak pada anarkisme dan pembangkangan sosial,” sambung Arsul.

Jaga Toleransi

Namun menurut Arsul, jika politik identitas yang ditampilkan adalah yang menjaga toleransi dan tetap membangun inklusivitas, tidak menegasikan atau menihilkan mereka yang berindentitas tidak sama serta menerima bahwa perbedaan identitas itu adalah fitrah yang diciptakan Tuhan, maka ketika ini diekspresikan dalam ruang publik tidak boleh serta merta kemudian dianggap sebagai ancaman dalam kehidupan bermasyarakat kita.

“Kebhinekaan yang kita juga akui memang mau tidak mau menimbulkan artikulasi identitas di ruang publik. Namun jika artikulasi tersebut tetap menempatkan sikap inklusif dalam bermasyarakat, maka ini tidak perlu dilarang,” ungkap pria kelahiran Pekalongan 8 Januari 1964 ini. 

Lebih lanjut, Arsul yang juga alumni HMI ini memberi contoh konkrit tentang politik identitas yang diakomodasi PPP, yakni PPP tetap mempertahankan identitasnya sebagai partai Islam. Namun identitasnya sebagai partai Islam adalah menyebarkan Islam rahmatan lilalamin, yakni Islam yang tawassuth (sikap tengah-tengah atau moderat) tawazun (seimbang), i’tidal (tegak lurus) dan tasamuh (toleran). Islam yang kompatibel dan menguatkan konsensus bernegara yang kita bangun.

“Jika politik identitas itu dilarang sama sekali maka itu kemudian bisa diartikan bahwa tidak boleh ada parpol atau ormas yang melabelkan identitas tertentu. Apapun itu, apakah agama, suku, ras dll,” ujar Anggota Komisi III DPR RI ini.

“Selama 50 tahun umurnya, PPP menunjukkan identitasnya sebagai partai Islam namun Islam yang dibawakannya adalah  Islam rahmatan lil alamin, Islam yang ramah, bukan Islam  yang gampang marah,” tutupnya.

Selain piawai di bidang politik, Arsul Sani juga seorang advokat, arbiter dan ahli hukum yang menjadi tempat berdiskusi para koleganya sesama anggota DPR RI maupun jajaran pemerintahan. Ia adalah anggota DPR RI yang menjadi media darling bagi para jurnalis karena itu pendapat-pendapat politik dan hukumnya begitu sering menghiasi ruang media baik televisi, cetak, online maupun audio visual lainnya. 

Namun apa yang telah dicapainya sejauh ini, tidak menjadikan pria asal Pekalongan ini berhenti menuntut ilmu. Belum lama ini,  Arsul Sani diwisuda sebagai doktor hukum (doctor of laws) dengan predikat sangat memuaskan (cum laude) dari Collegium Humanum - Warsaw Management University, Polandia. Sebelumnya Arsul memulai program doktor-nya di Department of Law, Glasgow School for Business and Society, GCU - Scotland namun ia terpaksa exit karena terpilih sebagai anggota DPR-RI tahun 2014 dan mendapat gelar Master in justice, policy and welfare studies (Pr.M). Ia telah menuangkan catatan-catatannya sebagai anggota DPR RI dalam dua buku. Yang pertama berjudul “Catatan Dari Senayan : Konvergensi Hukum, HAM dan Keamanan Nasional”. Yang kedua “Catatan Dari Senayan 2: Relasi Islam Dan Negara, Perjalanan Indonesia”. Buku ketiganya yang merupakan adaptasi dari disertasinya sedang dalam proses editing dibawah judul “Catatan Dari Senayan 3: Keamanan Nasional Dan Perlindungan HAM Dalam Kontra-terorisme di Indonesia”.

Dalam disertasi-nya yang berjudul "Re-examining the considerations of national security and human rights protection in counterterrorism legal policy: a case study on Indonesia with focus on post-Bali bombings developments", Arsul, antara lain, mengkritisi sejumlah studi sebelumnya tentang sejarah awal terorisme di Indonesia dan perbedaan proses hukum dalam beberapa kasus pidana yang diadili dengan UU Terorisme dan KUHP meski memiliki kesamaan peristiwa pidananya.

Kritik-nya tentang penulisan sejarah terorisme di Indonesia terkait dengan sejumlah studi yang menyebut awal terorisme dikaitkan dengan pemberontakan DI/TII di Jawa Barat. Padahal perbuatan teror yang kemudian masuk dalam pengertian terorisme telah dimulai menjelang pemberontakan PKI Madiun oleh pengikut atau pendukung PKI yang kemudian melahirkan pemberontakan PKI Madiun tahun 1948. Menurut Arsul, seharusnya sejarah awal terorisme di Indonesia dicatat dengan perbuatan teror oleh pengikut PKI, baru diikuti oleh pengikut DI/TII yg terjadi setelah pemberontakan PKI Madiun.

Bahasan kritis kedua yang menjadi obyek penelitian Arsul adalah sejumlah kasus hukum dimana terjadi perbedaan perlakuan dan proses hukum atas tindak pidana yang sama-sama memenuhi unsur terorisme. Dalam beberapa kasus di Aceh pasca perjanjian Helsinki, penegak hukum menerapkan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, namun dalam kasus-kasus yang sama-sama memenuhi unsur terorisme di Papua, UU Terorisme ini tidak diterapkan, dan para pelakunya hanya dikenakan tindak pidana umum dalam KUHP.

Bahkan lebih jauh dalam disertasi-nya, Arsul mengkritisi keragu-raguan Pemerintah dan jajaran penegak hukum sampai sekarang untuk mempergunakan UU Terorisme terhadap kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua, padahal Pemerintah sendiri telah melabeli kelompok ini sebagai kelompok separatis-teroris (KST) sejak pertengahan tahun 2021.

Penghargaan The Best Legislator 

Atas kiprah dan dedikasinya di bidang politik, Arsul Sani menerima penghargaan The Best Legislator Award dari Berlian Organizer dan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Jawa Tengah, pada Jumat (4/8) malam. Selain Arsul, ada 11 legislator yang ikut menerima penghargaan. Untuk DPR RI,  yakni H. Firman Soebagyo, SE, MH. (Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI), dan Drs Fadholi, M.IKom (Anggota DPR RI Fraksi Partai Nasdem).

Selain itu, penghargaan juga diterima anggota DPRD Jateng, yakni DR. Ir. H. Alwi Basri, MM, M.IKom  (Ketua Komisi D DPRD Jateng), Muhammad Ngainirrichadl, S.HI. MM  (Sekretaris Komisi B DPRD Jateng), Agung Budi Margono, ST. MT  (Ketua Fraksi PKS DPRD Jateng), Mohammad Saleh, ST (Ketua Komisi A DPRD Jateng) , dan Ahmad Ridwan, SE, MM (Anggota DPRD Jateng).

Untuk DPRD kab/kota, yakni Dra. Hj. Hindun, MH (Ketua DPRD Kabupaten Pekalongan), H. Sri Fahrudin Bisri Slamet, SE (Ketua DPRD Demak), Siswanto, S.Pd, MH  (Wakil Ketua DPRD Blora), serta Frans Suharmaji,  SE,  MM  (Wakil Ketua DPRD Kabupaten Purworejo).