Air Bawah Tanah Dilarang, Operasional Puluhan Industri Batang Terancam Berhenti

Larangan pemanfaatan Air Bawah Tanah (ABT) membuat puluhan industri di Kabupaten Batang berisiko berhenti beroperasi tanpa ada solusi.


Larangan pemanfaatan Air Bawah Tanah (ABT) membuat puluhan industri di Kabupaten Batang berisiko berhenti beroperasi tanpa ada solusi.

Perwakilan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Batang, Singgih mengatakan kondisi itu terjadi pascamunculnya Perda No.13 Th 2019 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Th 2019-2039 pasal 128 i.

Isinya tentang pelarangan penggunaan atau pemanfaatan air bawah tanah untuk kawasan industri dan di kawasan peruntukan industri.

"Air itu merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi industri, kebutuhannya pun tidak main-main bisa sampai 24 jam untuk industri pada zaman sekarang. Sedangkan sumber air industri di Batang selama ini dari ABT," katanya saat konferensi pers di PT Wanho Industries Indonesia, Senin (14/6).

Ia mengatakan para pengusaha takut dampak aturan dalam perda itu adalah ketidakpastian hukum.

Dan yang jika ada penyegelan, maka otomatis industri tidak bisa beroperasi.

Ia mengatakan aturan itu kontraproduktif dengan sikap pemkab Batang yang proinvestasi.

Gara-gara aturan, tambahnya, ada investor yang hendak memperluas usahanya memutuskan untuk menunda.

"Kalau tidak ada air, tentu tidak bisa beroperasi, dampaknya tentu pada ribuan karyawan," kata Singgih.

Perwakilan lain, Iwan mengatakan PDAM Batang belum mampu dan siap memenuhi kebutuhan air baku sesuai standar industri.

"Misalnya untuk memenuhi kebutuhan untuk Broiler membutuhkan air tanpa kaporit agar alat tidak rusak. Selain itu tidak ada jaminan dari penyedia air baku di pemkab terkait kesiapan jaringan khusus industri hingga jaminan ketersedian air," tuturnya.

Ia mencontohkan ketika tidak ada asupan air saat broiler berjalan dalam waktu satu atau dua menit, maka alat itu bisa meledak.

Lalu, kebutuhan kualitas air untuk industri pangan tentu berbeda perusahaan lain karena butuh Ph tertentu.

Di sisi lain, banyak industri di Batang yang jauh dari sungai atau mata air, sementara jaringan belum mampu.

"Kalau pakai jaringan rumah tangga nanti yang menjerit warga karena airnya tersedot. Itu misalnya," tuturnya.

Selain masalah kualitas dan ketersediaan, hal lainnya adalah harga air baku PDAM jauh lebih tinggi dan tidak sesuai dengan biaya operasional industri. Jauh lebih tinggi dibanding retribusi ABT yang selalu dibayarkan ke Pemkab Batang.

"Perbandingannya kalau bayar PDAM Rp 100 juta, dengan ABT sekitar Rp 15 juta," jelasnya.

Atas dasar itulah Apindo Batang minta ada revisi Perda No.13 Th 2019 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Th 2019-2039 pasal 128 i.

Pihaknya meminta pasal itu direvisi agar memperbolehkan meskipun dengan syarat tertentu.

Sebab, lanjutnya, aturan pelarangan itu kontra produktif dengan sikap Pemkab Batang yang proinvestasi.

"Pada saat pembahasan itu kami dari Apindo sama sekali tidak dilibatkan. Karena itu kami meminta ada revisi pasal tersebut, melalui paripurna atau pansus DPRD," jelasnya.

Konferensi pers tersebut menghadirkan 12 perwakilan manajemen industri di Batang. [sth]