Banyak Kasus Tak Terungkap, Penanganan Kekerasan Anak dan Perempuan di Semarang Jadi Sorotan

Workshop bersama media massa bertema 'Peningkatan Peran Media dalam Advokasi Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Semarang' pada Selasa (30/7). Istimewa
Workshop bersama media massa bertema 'Peningkatan Peran Media dalam Advokasi Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Semarang' pada Selasa (30/7). Istimewa

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, dr. Noegroho Edy Rijanto, M.Kes, mengakui jika kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Kota Semarang layaknya fenomena gunung es. Banyak kasus yang terjadi namun tidak terungkap.


Dr. Noegroho menyebutkan bahwa hingga Juli 2024, terdapat 200 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Kota Semarang.

“Semua kasus ini kami tangani hingga tuntas, termasuk pendampingan korban. Namun, saya yakin masih ada banyak kasus yang belum atau tidak dilaporkan,” ujar dr. Noegroho kepada wartawan.

Dalam sebuah workshop bersama media massa bertema 'Peningkatan Peran Media dalam Advokasi Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Semarang' pada Selasa (30/7), dr. Noegroho menjelaskan bahwa dari 200 kasus tersebut, 76 di antaranya adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan sisanya berupa pelecehan seksual. 

Ia menekankan bahwa banyak faktor pemicu kekerasan ini, termasuk masalah ekonomi. "Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan memang meningkat.Oleh karena itu, penanganannya memerlukan keterlibatan semua pihak, tidak hanya DP3A, tetapi juga dinas terkait, masyarakat, dan media massa,” kata dr. Noegroho.

Menurut dr. Noegroho, media harus berperan dalam mengedukasi masyarakat sekaligus melindungi hak-hak korban kekerasan seksual melalui pemberitaan yang sesuai dengan kode etik yang ramah anak dan perempuan. 

“Kemajuan teknologi memudahkan akses informasi bagi semua orang, termasuk anak-anak, sehingga potensi dampak negatif juga meningkat,” paparnya 

Ia menegaskan bahwa media massa harus memberitakan kasus kekerasan pada anak dan perempuan sesuai kaidah jurnalistik. Saat ini, masih banyak media yang belum menerapkan kode etik dengan baik, misalnya, dengan mengungkap identitas korban kekerasan anak di bawah umur atau membuat judul yang sensasional.

"Pemberitaan bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, penting untuk edukasi dan pencegahan kekerasan serta perlindungan korban. Namun, di sisi lain, pemberitaan yang tidak tepat bisa menurunkan perlindungan terhadap korban," tegas dr. Noegroho.

Direktur LBH APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko, mengatakan bahwa media massa harus lebih sensitif dalam menangani kasus kekerasan seksual, baik terhadap perempuan maupun anak. “Jangan menunggu kasus kekerasan viral baru kemudian diberitakan,” ujar Rara.