Jabatan presiden yang pernah dipegang Park Geun-hye, tidak
bisa melepasnya dari hukuman berat sebagai koruptor. Dia kembali divonis
delapan tahun penjara, kemarin. Total hukumannya 32 tahun.
- Joe Biden Cemas Dengan Sebaran Varian Delta Di AS
- Perkenalkan ASEAN, KBRI Buenos Aires Kolaborasi Gamelan Jawa Dengan Musik Folklore
- Pemimpin China Kirim Doa Kesembuhan untuk Ratu Elizabeth II
Baca Juga
Park, presiden perempuan pertama Korea Selatan (Korsel) dimakzulkan pada tahun lalu. Park dipenjara sejak 31 Maret 2017. Pada April lalu, dia divonis hukuman penjara 24 tahun atas dakwaan korupsi, pemaksaan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Tak cuma dibui, dia diperintahkan membayar denda sebesar 18 miliar won atau sekitar Rp 233 miliar.
Kemarin, dia didakwa dengan dua kasus. Menerima uang dari BaÂdan Intelijen Nasional (NIS) kasus gratifikasi sebesar 3,3 miliar won atau sekitar Rp 42,4 miliar. HukuÂmannya enam tahun. Kemudian, dia mengintervensi pemilu legisÂlatif 2016 dengan menguntungkan kandidat dari partai berkuasa. Hukumannya dua tahun.
Tiga bekas kepala NIS bersakÂsi di pengadilan, mereka telah menyalurkan dana ke Park atas perintahnya. "Terdakwa menerÂima sekitar 3 miliar won selama tiga tahun dari tiga kepala NIS. Melalui kejahatan ini, negara mengalami kerugian besar," kata hakim senior Seong Chang Ho, seperti dikutip dari AFP.
Park, putri diktator Park Chung Hee. Tapi ayahnya dikenal telah berjasa bagi kemajuan Korsel. Dia menjadi presiden pada 2013 sebagai ikon konservatif. Namun, usia pemerintahannya tak sampai empat tahun.
Park digulingkan rakyat lewat gerakan people power selama berbulan-bulan. Jutaaan orang turun ke jalan di Seoul dan kota-kota lain di Negeri Ginseng itu.
Pemicunya adalah skandal korupsi yang menimbulkan efek bola salju. Park bersekongkol dengan pengusaha yang juga teman lamanya, Choi Soon Sil. Dia dituduh menerima suap dari para petinggi perusahaan temannya itu sebagai imbalan atas beberapa kebijakan.
Kemarahan
publik tertuju pada hubungan Park dengan Choi. Park membiarkan Choi
yang tidak memegang jabatan formal di pemerintahan, untuk ikut campur
dalam urusan negara, bahkan ikut mengedit isi pidato kepresidenan. Demikian dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL
- Ini Alasan Korea Utara Tingkatkan Kapasitas Militer Menurut Pengamat Indonesia
- Korban Penembakan: Tidak Ada Perlawanan
- Jaringan Internet Ukraina Kembali Aktif Berkat Elon Musk