Bungah, Pria Asal Jambu Lumpuh Sejak Lahir, Rajin Puasa Sunah Tapi Hidup Serba Kekurangan

Nama bukanlah sekedar penanda. Ada doa dan harapan semua orang tua dibalik pemberian nama pada anak mereka.


Termasuk pria asal Desa Gemawang, Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang yang lumpuh sejak lahir ini. Dia diberi nama Bungah,  yang artinya bahagia. Ada harapan orang tua agar dia selalu dipenuhi kebahagiaan dalam hidup. Walau pada kenyataannya, Bungah harus lahir tak sempurna. 

Mendapati keadaan Bungah seperti itu kedua orang tuanya sadar, ibarat berlayar mereka tidak akan bisa mengubah mata angin tapi masih dapat mengatur layar untuk mencapai tujuan.

Karenanya, kedua orang tua itu tak pernah lelah dan tidak pernah menyerah merawat si Bungah dengan penuh cinta, kesabaran dan ketelatenan. Terlebih sang Ibu, karena Bapaknya tenaganya tercurah di ladang. 

Sayangnya, perhatian dan cinta termurni dari sang Ibu ini harus berakhir diterima oleh Bungah sampai usia 18 tahun. Tepatnya 6 tahun lalu, Ibunya sakit dan meninggal. 

Dalam keadaan itu kakaknya Bungah, Slamet memutuskan kembali ke desa dari rantauan. Dia siap meneruskan tugas Ibu merawat adiknya. 

Setiap hari Slamet memandikan dan menyuapi Bungah.  Secara rutin juga membersihkan tempat tidur adiknya.

"Adik saya hanya makan nasi dan gorengan. Maksimal dua kali sehari. Itu untuk mengurangi  bau," jelas Slamet, Senin (11/4/2022).

Di bulan puasa ini, Bungah justru minta diajak puasa.

"Minta dibangunkan sahur dan ikut puasa," kata Slamet lagi.

Kata beberapa tetangga, selain bulan Ramadan, pria lumpuh sekujur tubuh itu sering puasa sunah Senin dan Kamis.

"Secara fisik dia lumpuh tapi dia masih bisa berfikir seperti orang normal. Hanya sulit bicara," kata Timbul,  Kepala Dusun setempat. 

Bungah sehari-hari tergolek di atas tempat tidur sementara Slamet yang menjadi tulang punggung, bekerja menjadi buruh pemotong kayu untuk bahan triplek. Slamet merawat dua pria tak berdaya di dalam rumah itu. Bapaknya yang jompo dan sakit serta adiknya yang lumpuh. 

Penghasilan sebulan Slamet sebagai pemotong kayu berkisar Rp500 ribu. Besaran uang ini dia gunakan baik-baik untuk kebutuhan makan bersama Bapak dan Adiknya.

"Buat makan dicukup-cukupkan. Kebutuhan lain, misal pampers buat adik saya, tidak ada anggaran.  Kebetulan Bungah tidak kami biasakan memakai pampers, lebih baik saya yang mengalah, rajin membersihkan kasur dan kamarnya," jelas Slamet. 

Untuk rumah sebagai tempat berteduh, Slamet bersyukur sudah sukses membangunkan rumah untuk kedua orang tuanya bertahun-tahun lalu.

"Saat Ibu saya masih hidup, adik dirawat penuh oleh Ibu dan saya bisa konsentrasi merantau keluar jawa. Jadi sales hiasan tembok kuningan dulu. Alhamdulilah bisa membangun rumah ini," ujar Slamet bangga.

Dia mampu membangun rumah sederhana berbahan batako dan masih berlantai tanah.

"Belum tuntas semua yang penting bisa untuk berteduh," tambah pria anak ketiga dari empat bersaudara.

Slamet memiliki dua kakak perempuan, yang sulung hidup di Kalimantan, kakak kedua tinggal di desa sebelah. Kondisinya juga kurang mampu, suaminya  meninggal dan harus merawat tiga anak. Kakak kedua Slamet fokus membesarkan tiga anaknya dengan menjadi asisten rumah tangga. Hanya Slamet yang akhirnya siap mengambil tanggung jawab, merawat adik bungsunya yang lumpuh sejak lahir itu.