Dana Politik Para Caleg Menuju Gedung Dewan : Politik Uang Bisa Dicegah dengan Pendidikan Politik Sejak Dini (Bagian 4 - Habis)

Pengamat hukum dan politik Universitas Pekalongan, Dr. Achmad Soeharto, S.H
Pengamat hukum dan politik Universitas Pekalongan, Dr. Achmad Soeharto, S.H

Politik uang dalam setiap gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) diakui oleh pengamat hukum dan politik Universitas Pekalongan, Dr. Achmad Soeharto, S.H selalu ada. Menurutnya, hal itu karena kurangnya pendidikan politik bagi masyarakat.


Wakil Rektor II Unikal itu menyebut tugas pendidikan politik sebenarnya tidak hanya pemerintah atau partai politik. Seluruh warga negara juga bisa melakukan pendidikan politik.

"Kedua memang tingkat kesadarannya masih cukup rendah ya dalam hal politik. Ada yang menganggap bahwa pesta demokrasi itu ya bagi-bagi uang, ini pernah juga saya bertemu dengan masyarakat seperti itu," katanya saat ditemui di kantornya, Rabu (29/11).

Harto, sapaan akrabnya menyebut memang ada fenomena tidak dapat uang tidak nyoblos. Persepsi keliru itu berlaku turun temurun hingga kadang jadi budaya.

Tidak sedikit warga yang menganggap uang itu sebagai ganti ongkos kerja. Hal itulah menurutnya juga persepsi yang keliru.

"Orang memberikan hak pilih ini sebenarnya tidak bisa dibeli. Itu kan yang melekat pada diri kita individu masing-masing ini," jelasnya.

Mantan ketua Bawaslu Kabupaten Batang itu membagi kategori pemilih menjadi tiga. Pertama adalah jenis pemilih idealis loyalis yang cenderung kolot.

Pemilih jenis ini tidak peduli siapapun caleg atau calonnya, yang terpenting adalah partainya. Hendak dikasih uang pun, pemilih tipe ini tetap loyal pada partai.

Kedua, jenis pemilih rasionalistis intelektualis. Pemilih jenis inilah yang  sebenarnya bisa jadi harapan untuk masa depan.

"Pemilih ini melihat caleg atau peserta pemilu dari program kerja, visi, latar belakang caleg. Jadi dia tidak melihat dari sisi politik uangnya," ujarnya.

Ketiga, jenis pemilih yang paling banyak adalah pragmatis materialistis. Tipe pemilih ini tidak mempermasalahkan siapapun calonnya, yang terpenting diberi uang.

"Nah ini jenis yang mungkin masih banyak ya di akar rumput yang seperti itu," tuturnya.

Ia mengatakan posisi antara caleg dan pemilih terkesan saling membutuhkan. Hal itu karena kurangnya pendidikan politik yang memadai di masyarakat.

Ketika kesadaran masyarakat sudah cukup tinggi, maka otomatis pemilih  memilih figur itu tidak berdasarkan pada pemberian politik uangnya. Tapi akan melihat profil, visi, latar belakang dan sebagainya.

Harto menyebut pendidikan politik itu perlu sekali sejak dini bahkan sejak sekolah dasar. Perlu ada pendidikan karakter yang mengedepankan kejujuran. Lalu juga cara berpikir secara logis dan rasional.

"Misalnya  ketika dari SD misalnya diajari demokrasi dengan memilih ketua kelas, lalu ketua OSIS SMP, dan seterusnya. Dan itu tidak ada boleh menraktir teman dan sebagainya," jelasnya.

Di sisi lain, untuk penindakan pidana politik uang dalam pemilu sudah ada. Bahkan ancaman hukuman sudah ada. Tapi proses untuk penindakan politik uang cukup panjang. Karena itu jarang ditemukan penindakan pidana pemilu terkait politik uang.