Bangkit Menata Kehidupan, Kembali Ke Masyarakat

Walikota Semarang Hendrar Prihadi, saat pertemuan dengan pengurus dan anggota Persadani, Kamis (22/4)/RMOLJateng
Walikota Semarang Hendrar Prihadi, saat pertemuan dengan pengurus dan anggota Persadani, Kamis (22/4)/RMOLJateng

Setelah menghirup udara kebebasan pada 2009, Machmudi Hariono mengaku bingung harus melakukan kegiatan apa. Dia bingung harus bekerja di mana atau menjalankan usaha apa, karena stigma sebagai narapidana kasus terorisme sangat kental di masyarakat.


Atas ajakan penggiat rekonsiliasi terorisme yang juga Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, bersama beberapa rekannya, dia mengelola bisnis kuliner di Jalan Kusumawardhani Semarang, bahkan usahanya tersebut membuka cabang di Solo. Kedua usaha itu, sayangnya, tak bertahan lama.

"Yang di Semarang bertahan 3 tahun. Sedangkan yang di Solo 6 tahun, terus tutup. Biaya sewanya terus naik, jadi tak bisa berlanjut," ujarnya.

Beruntung, dia masih punya usaha lain, yang juga sudah ditekuninya tak lama setelah bebas, bisnis penyewaan (rental) mobil.

Dibawah naungan Rema Group, bersama teman-teman bisnisnya, dia kini mengelola 15-20 mobil rental.

"Dari saya satu mobil, ditambah mobil teman-teman yang nitip, total ada 15-20 mobil. Walaupun pandemi, bisnis ini masih lumayan menghasilkan," ungkap Machmudi, kepada RMOLJateng.

Belakangan, dia juga merambah beternak lele. Ada 1.000 ekor bibit lele bantuan Dinas Perikanan Kota Semarang, yang dipelihara di rumahnya di Jalan Jatisari RT 004/RW 13, Kelurahan Gisikdrono, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang.

Seperti Machmudi Hariono, Sri Puji juga kini beternak lele bersama kelompok yang dibentuknya Kelompok Pembudi Daya Ikan Karya Anak Negeri (Pokdakan) di rumahnya di Jalan Sumur Adem IV, Kelurahan Bangetayu Kulon, Kecamatan Genuk, Kota Semarang. Selain beternak lele, Sri Puji juga sempat mendapat pelatihan laundry dari Baznas Kota Semarang.

Sri Puji mengaku, sudah setahun terakhir ini menganggur dari pekerjaannya sebagai driver pribadi manajer sebuah perusahaan agen pelumas. Namun, dia terpaksa berhenti, karena dicurigai terpapar Covid-19.

"Saya waktu itu sakit demam seperti flu, tapi setelah berobat ke dokter dinyatakan negatif Covid-19. Demi kebaikan dan keamanan atasan, saya pilih mundur," ujarnya.

"Tapi alhamdulilah, istri membantu dagang sembako. Sempat jualan es, tapi bulan puasa ini libur," ujarnya.

Dia berharap usaha ternak lele yang dirintisnya dapat menopang ekonomi rumah tangganya.

Sementara itu, Amir Mahmud kini menjalani profesi sebagai ahli pengobatan bekam, akupuntur dan menjual herbal. Selain kegiatan rutin mengajar ngaji, dia bahkan memiliki langganan khusus di Polres Kudus.

Berkat bantuan seorang perwira intelkam di Polres Kudus, kini jasa bekam Amir banyak dipakai oleh para anggota polisi lainnya.

"Setiap tanggal 17 setiap bulan, saya rutin memberi terapi bekam kepada 15 orang anggota Polres Kudus, alhamdulilah rezeki anak sholeh," tuturnya.

Selain pengobatan bekam, Amir juga berdagang herbal buatan orang tua angkatnya di Jombang, Jawa Timur.

"Ini pekerjaan lama saya, sebelum masuk penjara. Setelah bebas, saya kembali menekuni pekerjaan ini,"  imbuhnya.

Untuk bersosialisasi dengan masyarakat, Amir mengaku tak kesulitan. Karena sejak dulu dia sudah biasa srawung (berbaur) dengan warga di tempat tinggalnya.

Pendampingan Usaha Mandiri

Di Brebes, Wartoyo bersama kawan-kawannya juga membuka usaha bengkel motor dan mengelola wisata air di embung Larangan, yang lama terbengkalai.

Usai bebas, dia mengaku mendapat bantuan dana Rp10 juta dari program deradikalisasi dan kewirausahaan BNPT. Selain itu, dia juga pernah mendapat bantuan Rp15 juta dari Kemensos.

Selain mengurusi usaha pribadinya, Wartoyo juga bertanggung jawab mengurusi 11 orang eks napiter di wilayah Pantura. Dia melakukan pendampingan kepada eks napiter yang baru keluar lapas, membuatkan KTP, KK, hingga melakukan pendampingan usaha ekonomi mandiri dengan menggandeng Pemda.

"Hasilnya, ada yang dibantu membuat bengkel motor, ada yang servis komputer, ternak sapi, jualan, dll," ujarnya.

Dia mengaku bersyukur, kegiatan para eks napiter mendapat bantuan dari Pemda dan difasilitasi oleh petugas Idensos Densus 88.

Untuk menghimpun para eks napiter, pada 6 Maret 2020, Machmudi Hariono mendeklarasikan berdirinya Putra Persaudaraan Anak Negeri (Persadani).

Organisasi berbentuk yayasan itu didirikan bersama rekan-rekan eks napiter di Kota Semarang, yakni Badawi Rachman, Nur Afifudin, Harry Setya Rachmadi dan Sri Pujimulyo Siswanto. Anggotanya kini 30 orang eks napiter tersebar di kabupaten/kota lain di Jawa Tengah bahkan hingga Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Persadani didirikan untuk silaturahmi dan memberdayakan ekonomi bagi para eks napiter," ujar Machmudi Hariono.

Persadani bermitra dengan kepolisian, BNPT, Pemda, dan stakeholder lainnya. dsb. Program utama adalah pendampingan keluarga, serta membangun ekonomi sejahtera.

"Kami membentuk yayasan, karena salah satu syarat penerima bantuan harus berbadan hukum yayasan, tidak boleh perorangan. Dengan perhatian dan pendampingan ini, teman-teman eks napiter dapat merasakan manfaat dari Persadani," tambahnya.

Dukungan untuk Persadani pun mengalir dari berbagai pihak. Salah satunya, Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi. Hendi menggandeng para eks napiter untuk program deradikalisasi ke sekolah-sekolah di Kota Semarang.

Menurut Hendi, peran para eks napiter sangat penting karena mampu memberi gambaran terkait teknik pencucian otak yang dilakukan oknum-oknum tertentu kepada anak muda, sehingga terpapar radikalisme.

"Kami sangat berterima kasih kepada kawan-kawan Persadani yang telah berikrar kembali pada NKRI dan bersinergi bersama Pemerintah Kota Semarang dalam percepatan pembangunan," kata Hendi, saat pertemuan dengan pengurus dan anggota Persadani, Kamis (22/4).

Ketua Persadani Machmudi Hariono merasa bahagia diberi kesempatan memberi ide dan gagasan dalam mendukung pembangunan Kota Semarang.

Dia bersyukur mendapat dukungan wirausaha yang tengah dirintis para anggota bersama Dinas Koperasi dan UMKM Kota Semarang.

Tunjukkan Perbuatan, Bukan Pencitraan

Bagi Sri Puji, keberadaannya di masyarakat usai bebas dari penjara, harus betul-betul dirasakan oleh warga sekitar.

"Saya sudah berikrar, keberadaan saya di masyarakat harus dengan perbuatan, bukan kata-kata atau pencitraan. Saya sudah begini saja, orang masih curiga. Tapi, biarlah itu hak mereka. Niat saya, tetap berbuat baik," ujarnya.

Masyarakat bisa menerima? "Syukur alhamdulilah tetangga mayoritas bisa menerima. Waktu saya bebas, saat ada acara kumpul warga, Pak RT bertanya apakah warga legowo menerima saya. Mereka kompak menjawab legowo. Saya terharu sekali," ungkapnya.

Perbuatan nyata yang ditunjukan Sri Puji menuai hasil. Banyak warga bisa menerimanya dengan lapang dada. Dia kini dipercaya menjadi ketua takmir mushola di kampungnya. [sth]