Ikhtiar Mengikis Paham Radikalisme

Eks Napiter, Sri Puji dan Machmudi Hariono (tengah) saat berbincang dengan RMOLJateng
Eks Napiter, Sri Puji dan Machmudi Hariono (tengah) saat berbincang dengan RMOLJateng

"Saya sepenuhnya sadar, jihad yang saya lakukan dulu itu salah," ungkap Wartoyo, kepada RMOLJateng.


Kini, peristiwa kelam di masa silam itu benar-benar dilupakannya, dan tak akan diulanginya lagi.


''Saya sekarang memilih berjihad dengan berbakti kepada orang tua saya, terutama ibu saya, dan menafkahi istri dan tiga anak saya," imbuhnya.

Eks jihadis asal Brebes itu, menjadi salah satu mantan narapidana terorisme (napiter) yang berhasil berpaling dari paham radikalisme berkat dukungan keluarga dan kerabat.

Dia mengaku merenung dan menyadari apa yang dilakukannya dulu adalah hal keliru.

"Saya betul-betul merenung dan menyadari, bukan orang yang disadarkan. Sadar karena niat dan perenungan sendiri, berbeda dengan mereka yang disadarkan. Kalau disadarkan, suatu saat bisa melakukan kesalahan lagi,"  tegas pria yang saat ini membuka bengkel motor dan mengelola wisata air di embung Larangan, Brebes ini.

Sebagai mantan preman, Wartoyo dikenal sangat keras.  "Saya baru bisa didekati BNPT setelah 2,5 tahun bebas. Karena saya dikenal paling keras. Pernah kolonel saya ludahin waktu di Cirebon," ungkapnya.

Namun, cinta dan dukungan keluarga mampu melunakkan sifat kerasnya. Perlahan dia pun berubah menjadi pribadi yang lebih taat dan sayang pada keluarga.

"Saya sudah melupakan masa lalu. Saya ingin berjihad untuk kebaikan dan kebajikan, terutama untuk menghidupi keluarga saya,"  tegasnya.

Stigma Negatif

Machmudi Hariono mengaku, upayanya kembali ke tengah-tengah masyarakat bukan perkara yang mudah. Rasa curiga, cibiran, dan stigma negatif, selalu dialamatkan pada dirinya sebagai mantan napi yang terlibat kasus terorisme.

"Kalau ada teroris yang ditangkap, masih saja ada yang bertanya apa saya kenal dengan orang itu. Pertanyaan itu bukan saja dari teman atau tetangga, tetapi juga dari saudara dan kerabat dekat. Padahal saya bilang, saya sudah tobat, dan tidak mengenal mereka," ujarnya.

Bukan hanya itu, tawaran untuk bergabung kembali dari rekan-rekannya saat pernah berperang di Moro pada 2000, pun selalu datang. Namun, dia mengaku selalu menolaknya dengan halus.

"Saya masih punya anak dan istri. Saya harus menafkahi keluarga saya," ujarnya, memberi alasan penolakannya.

Ajak Anak Muda Jauhi Radikalisme

Amir Mahmud pun kini berubah total. Selain berprofesi sebagai ahli pengobatan bekam, akupuntur dan berjualan herbal, dia juga mengampu pengajian untuk beragam kalangan, mulai bapak-bapak, ibu-ibu, remaja, hingga anak-anak.

Saat mengajar, dia selalu berpesan kepada remaja dan anak muda untuk hati-hati dan waspada dengan ajaran atau ajakan untuk berjihad di jalan kekerasan. Jangan sampai terpengaruh oleh ajaran radikalisme atas nama Islam.

"Saya selalu wanti-wanti, agar mereka waspada bila mendengar atau menerima ajaran tertentu. Lihat siapa yang bicara, apakah ilmu agamanya sudah tinggi, apakah ajarannya relevan dengan kondisi di masyarakat. Jika tidak, sebaiknya hindari dan jauhi, agar tidak terpengaruh ajaran yang menyesatkan," paparnya.

Amir Mahmud mengaku punya kiat, yakni bergurulah pada orang yang tepat.

Saat pengajian, Amir kerap mengajar dan mengajak anak muda untuk tidak mudah tergiur dan bujukan seseorang yang mengajarkan ajaran radikalisme.

"Harus diliat yang bicara siapa? Lihat apa pandangan itu cocok dengan kondisi masyarakat, tanyakan kepada mereka yang ilmunya lebih tinggi, sehingga tidak mudah terjebak pada radikalisme," tuturnya.

Sri Puji punya pengalaman tersendiri untuk mengikis paham radikalisme. Dua kali masuk penjara karena kasus terorisme dan 10 tahun dalam jeruji besi, membuatnya menemukan hidayah.

"Saat saya membuka cakrawala berpikir, ternyata demokrasi itu bagus, ada nilai-nilai positif yang bisa dikembangkan. Saya cukup sederhana berpikir, jika ulama-ulama besar pendiri bangsa yang ilmu agamanya sangat tinggi saja bisa menerima demokrasi, lantas mengapa saya tidak?" ungkapnya.

Dia juga berpesan kepada anak muda agar tak terpikat dan terlibat radikalisme.

Jangan Pakai Kacamata Kuda

"Jangan terjebak pada satu sisi cara pandang, tapi harus melihat pandangan lain. Jangan pakai kacamata kuda. Harus bisa bertoleransi. Kalau kita tutup mata, tutup telinga, pakai kacamata kuda akan susah. Itu akan membuat kita merasa menjadi yang paling benar, kelompok saya yang paling benar, yang lain salah. ISIS dan Al Qaeda, awalnya satu, tapi begitu beda pandangan, mereka pecah," paparnya.

Di Lapas Kedungpane, Sri Puji bertemu petinggi JI Abu Tholut. Dia mengaku takjub dengan perilaku Abu Tholut yang mengalami perubahan radikal selama dibui.

"Saya amati, pemikirannya tentang Pancasila dan Demokrasi luar biasa. Dia pun juga mampu bertoleransi dengan orang lain yang berbeda pemikiran dengannya,"tutur Sri Puji.

Yang membuatnya heran, adalah saat Abu Tholut menyambut kunjungan Menteri Hukum dan HAM (saat itu) Amir Syamsuddin.

"Mereka berjabat tangan dan berangkulan. Saya tanya, kok bisa? Abu Tholut bilang, Pak Amir itu manusia sama seperti kita, walaupun akidah berbeda, tapi tetap berkawan. Hati yang lembut, bisa menerima perbedaan. Sejak itu, saya tersadar dan terus belajar untuk berubah," paparnya.

Selain itu, hal lain yang membuatnya berubah adalah kehangatan keluarga.

"Waktu 10 tahun itu bukan waktu yang sebentar. Saya terus terang rindu sekali dengan istri dan anak-anak. Waktu saya tinggal kasus pertama, anak saya baru 5 orang. Saat bebas kasus kedua, dua anak lagi lahir. Dua anak yang terakhir ini, ikut memberi andil perubahan saya. Mereka menjadi sangat dekat, dan sering bermanja-manja dengan saya. Anak-anak dan istri saya, adalah harta paling berharga yang saya miliki, dan tak akan saya sia-siakan,"ungkapnya.