- Bangkit Menata Kehidupan, Kembali Ke Masyarakat
- Sewindu Ganjar Pranowo Pimpin Jawa Tengah: Clean Government, Tapi Masih Ganjar Sentris
- Belum Selesai: Perjuangan Ulama Rembang dan Warga Kendeng Tolak Pabrik Semen
Baca Juga
Prof. Dr. Ir. Saratri Wilonoyudho, M.Si. kepada Peserta Round Table Focus Group Discussion 3rd Series menyodorkan fakta menarik tentang tata ruang di Jawa Tengah, yang mestinya menjadi perhatian DPRD dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, yakni kencangnya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan terbangun.
Menurut Guru Besar pada Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang itu, pesatnya perubahan lahan sawah menjadi lahan terbangun untuk keperluan kebutuhan penduduk yang terus berkembang. Perluasan investasi industri di wilayah ini ikut mendorong penurunan tajam pada angka rumah tangga pertanian.
“Penurunan angka rumah tangga petani ini perlu kita cermati, mengingat sektor pertanian sangat strategis sebagai pendukung utama tercapainya swasembada pangan,” ujarnya.
Ditambahkannya, penurunan rumah tangga petani juga disebabkan oleh gempuran investor memang masuk wilayah ini dengan sebaran daerah investasi industri di antaranya Kabupaten Jepara, Karanganyar, Kabupaten Semarang, Purbalingga, Kendal, Pati, Sragen dan Sukoharjo dimana wilayah tersebut sebelumnya kuat pada sektor pertanian.
Dominasi Sektor Industri
Pertumbuhan usaha di sektor pertanian di tengah semakin menyempitnya lahan pertanian dan turunnya angka rumah tangga petani – yang juga berarti mengecilnya kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Jawa Tengah, menurut Saratri Wilonoyudho, tampaknya berbanding terbalik dengan pertumbuhan usaha di sektor industri yang terus melaju pesat mendominasi kontribusinya terhadap perekonomian Jawa Tengah.
Data Pertumbuhan Lapangan Usaha Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan yang Berkontribusi terhadap Perekonomian Jawa Tengah Tahun 2020 – 2023 terus menyusut, sebagai berikut (dalam persen), 2020 (2,40%); 2021 (0%); 2022 (2,91%); 2023 (0,49%).
Sektor pertanian terendah sangat ditentukan oleh musim yang berkaitan erat dengan luas tanam dan jumlah produksi. Dari tahun ke tahun memang sumbangan dari sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi Jateng semakin kecil.
Berbeda dengan sektor lain seperti perdagangan dan industri pengolahan lebih tinggi.
Sementara pada periode yang sama Pertumbuhan Lapangan Usaha Sektor Industri Pengolahan yang Berkontribusi pada Perekonomian Jawa Tengah terus meningat dan mendominasi, sebagai berikut (dalam persen), 2020 (4,80%); 2021 (2,34%); 2022 (3,88%); 2023 (4,31%).
Saratri Wilonoyudho, anggota Dewan Riset Daerah Jawa Tengah itu menengarai, bahwa sumber utama pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah pada 2024 adalah sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR).
Dominasi Sektor Industri dalam kontribusinya terhadap perekonomian Jawa Tengah tampak dari data berikut:
Sinkronisasi Kebijakan
Menurut Prof. Saratri, dalam lima tahun terakhir ini, Provinsi Jawa Tengah mengalami berbagai persoalan seperti pertambahan penduduk, makin menyempitnya lahan pertanian dan ruang terbuka hijau, polusi, kekurangan air bersih dan sebagainya. Kesemua masalah ini jika tidak dikelola dengan baik, maka akan merupakan awal dari ancaman kerusakan lingkungan Jawa Tengah di masa mendatang.
Berdasarkan kondisi tersebut, Penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan. Banyak peraturan yang harus disinkronkan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah, di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, serta Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi dan Penerbitan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang.
Sinkronisasi substansi tersebut harus mengintegrasikan seluruh aspek, termasuk pengintegrasian Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), yang disusun dengan kolaborasi dari berbagai sektor untuk keseimbangan terhadap ekosistem dan lingkungan.
Banyak persoalan yang mengikuti, di antaranya masih belum tersedianya RDTR sebagai acuan pemanfaatan ruang di seluruh wilayah Jawa Tengah, adanya perubahan dinamika kebijakan yang menyebabkan belum terakomodirnya kebijakan dalam tata ruang, serta adanya alih fungsi lahan yang disebabkan oleh proses pembangunan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut harus dilakukan percepatan penyusunan RDTR di Kab/Kota. Penyelenggaraan Penataan Ruang bermanfaat untuk meningkatkan kesesuaian pemanfaatan ruang yang akan berdampak pada efektivitas pemanfaatan ruang, mencegah terjadinya konflik antar fungsi dalam proses pemanfaatan ruang, menghindari bahaya lingkungan yang mungkin timbul akibat pemanfaatan yang salah dan mengendalikan pengembangan wilayah sesuai Rencana Pembangunan Daerah menuju pembangunan yang berkelanjutan.
Terbitnya UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang mengharuskan adanya perubahan kebijakan di Bidang Penataan Ruang, perlu dilakukan pengintegrasian matra darat dan matra laut yang substansinya harus tertuang dalam Rancangan Perda Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah yang saat ini memasuki proses legislasi.
Kendala dalam pelaksanaan kegiatan ini di antaranya adalah bagaimana para pengambil kebijakan sepakat, dengan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan para pihak. Manfaat dari Penetapan RTRW dan RTR Provinsi yaitu menjadi acuan dalam pembangunan dan kebijakan untuk sektor serta kabupaten/kota dalam arahan pemanfaatan ruang.
Kembali kepada fakta tentang terjadinya alih fungsi lahan yang menggerus lahan pertanian dari waktu ke waktu, menurunnya angka rumah tangga petani, makin mengecilnya lapangan usaha serta kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Jawa Tengah, sementara di sisi lain terjadi peningkatan lapangan usaha dan kontribusi sektor industri pengolahan terhadap perekonomian Jawa Tengah, perlukah kita mengajak kaum milenial jadi petani bukan sebagai petani kecil, gurem, melainkan dalam skala besar, seperti agro-industri?.
Sementara, di depan mata, secara umum kita memang sedang bergerak, berpacu, beranjak dari masyarakat agrarsis ke masyarakat industrial.
Dunia Industri itu sendiri juga bergerak cepat, bergeser dari Industri 1.0 yang dipicu oleh penemuan mesin uap oleh James Watt yang memcu revolusi Industri, 1769. Industri era ini menggunaan mesin-mesin yang lebih efisien dengan energi uap dari kayu dan batubara.
Berikutnya Industri 2.0 merayakan penemuan listrik oleh Thomas Alva Edison, 1878 yang memungkinkan dilakukannya proses industri yang dikenal sebagai sebagai elektrifiasi. Lain lagi ceritanya untuk Industri 3.0 yang ditandai dengan penggunaan teknologi informasi, komputer dan internet.
Sekarang kita sampai pada Industri 4.0 yang mendisrupsi, mencerabut sampai ke akar-akarnya semua yang ada dalam dunia industri, bahkan semua sendi kehidupan, oleh teknologi digital, IoT (Internet of Things) atau Internet untuk segalanya, serta AI (Artificial Itelligent) atau Kecerdasan Buatan.
Lantas, masih menarikkah lapangan pertanian bagi milenial? Biarkan waktu menjawabnya.
- Masjid Agung Baitunnur Blora Ditetapkan Sebagai Masjid Bersejarah
- Korfercab Ke-7 GP Ansor Grobogan Sempat Diwarnai Kericuhan
- 6 PAC dan 109 Ranting Tolak Hasil Konfercab GP Ansor Grobogan