“Dari Penyekat, menjadi Perekat”

Refleksi Jelang pelaksanaan Musyarawah Wilayah Pemuda Pancasila Jawa Tengah VII

Musyawarah Wilayah (Muswil) Pemuda Pancasila Jawa Tengah akan digelar dalam waktu dekat. Momen ini ialah perhelatan demokrasi dalam tubuh organisasi Pemuda Pancasila. Sebagai perhelatan demokrasi, maka kultur yang dibawa dalam Musywil adalah kultur demokrasi. Apa itu kultur demokrasi?

Menurut ilmuwan politik Gabriel Almond, budaya politik demokratis dapat dibagi dalam berbagai macam tipe. Salah satu nya adalah budaya politik partisipan. 

Budaya politik ini memiliki ciri 1) anggota organisasi memiliki perhatian dan minat yang tinggi terhadap organisasi; 2) anggota organisasi memiliki kesadaran tinggi akan hak dan kewajiban dalam organisasi; 3) anggota organisasi terlibat langsung dalam proses input berupa dukungan atau atau aspirasi terhadap organisasi. 

Kalau boleh meringkas tiga poin tersebut dalam satu poin saja, maka bisa ditegaskan bahwa budaya politik demokratis mensyaratkan adanya semangat “rasa saling memiliki” organisasi dalam diri tiap-tiap kader. Semangat ini tentu berlawanan arah dengan semangat “saling ingin berkuasa”. 

Semangat ingin berkuasa bukanlah ciri utama budaya demokrasi. Semangat ingin berkuasa justru mencerminkan semangat Hobbesian “homo homini lopus” yang akan berujung pada situasi perang antar kader dalam organisasi. Akhirnya bukan demokrasi yang terwujud, namun justru anarki dan chaos. 

Semangat rasa saling memiliki adalah modal sosial bagi Pemuda Pancasila untuk membangun organisasi secara demokratis. Dengan semangat saling memiliki pada organisasi, maka kader akan bertanggungjawab dalam membangun organisasi dan selalu siap berbagi. 

Sebaliknya, jika kader disusupi oleh semangat saling menguasai, organisasi akan hancur dengan sendirinya. Organisasi yang diisi oleh kader yang semangat saling menguasai cenderung tidak akan mau berbagi. 

Teman kaderpun akan dianggap musuh atau pesaing. Apakah ini yang kita inginkan? Oleh karena itu, selama sikap ini masih tertanam dalam benak kader, selama rasa angkuh bercokol di kepala kader, selama itu pula kemajuan organisasi hanya menjadi slogan belaka, tanpa pelaksanaan.

Jiwa batin antara seorang pemimpin organisasi dengan anggotanya mestinya saling terhubung dan saling mendukung. Jika ada perbedaan, harusnya diputuskan dengan pertimbangan visi organisasi dan konstitusi organisasi. 

Dalam konteks ini, pemimpin bertugas untuk mengelola perbedaan, sehingga terucap kata “sepakat”. Bukan malah sebaliknya, perbedaan malah dianggap sebagai ancaman bagi dirinya. Ia malah sibuk ngotot mengubah orang lain atau lingkungannya, supaya sejalan dengan keinginannya.  

Demokrasi yang seharusnya diisi dengan dialog, berubah menjadi monolog. Dalam situasi ini, yang dibutuhkan bukanlah otak, melainkan otot. Akhirnya, segala sesuatu harus diputuskan menggunakan cara-cara rendahan seperti kekerasan. Tentu sikap semacam ini adalah ciri keterbelakangan berorganisasi dan kekosongan otak.

Sebagai refleksi, kita perlu melihat apa yang terjadi di Musyawarah Besar Pemuda Pancasila atau yang kita sebut sebagai Mubes. Sebab dalam Mubes terdapat praktik yang baik dalam berdemokrasi yang dapat kita jadikan pelajaran dalam melaksanakan Musywil ini. 

Musyawarah Besar adalah Jenjang permusyawaratan Pemuda Pancasila tertinggi di level nasional, yang diadakan lima tahun sekali. Dari Mubes ke Mubes, kita bisa memetik pelajaran penting yaitu konsistensi dalam menjaga marwah organisasi. 

Coba lihat tradisi Mubes, berapa kali Bung Yapto SS terpilih menjadi Ketua Umum?  Apakah pernah Bung Yapto mengkondisikan, mengkarantina, bersafari keliling MPW-MPW , keliling MPC-MPC se Indonesia untuk minta dukungan agar dipilih menjadi Ketua MPN? Tidak pernah!  Saya menganggap apa yg dilakukan oleh Bung Yapto SS,  merupakan upaya menjaga marwah dan kehormatan organisasi. 

Konsistensi menjaga marwah organisasi itulah yang harusnya menjadi karakter utama sebagai kader. Tanpa karakter seperti itu, organisasi bisa hancur terseret kesana kemari oleh tantangan zaman dan sikap pragmatis yang semakin hari semakin menggejala di semua organisasi kemasyarakatan. Lalu menjadi pertanyaan, apa itu sikap pragmatis?

Boleh secara singkat dijelaskan disini bahwa semangat pragmatis adalah semangat menghalalkan segala cara. Semangat pragmatis tercermin dalam slogan mantan pimpinan RRC Deng Xiao Ping: tidak peduli kucing hitam atau kucing putih, yang penting bisa menangkap tikus. 

Tidak peduli strategi licik atau baik, yang penting menang pemilihan. Semangat seperti itu jelas salah. Kader PP harusnya memastikan bahwa rencana, proses, tujuan, harus dilakukan secara ideal. Menang dengan cara yang salah bukan langkah yang bijak. 

Ibarat olah raga, menang juga harus mengikuti aturan yang disepakati. Demikian juga pemilihan pimpinan organisasi, juga harus diperjuangkan sesuai aturan dan tidak menerabas batas etika politik. 

Perlu diketahui bahwa ke depan, organisasi akan banyak mengalami perubahan karena tuntutan jaman. 

Organisasi juga akan mengalami banyak gesekan karena dinamika kondisi internal dan eksternal serta adanya kontestasi ambisi pribadi juga yang rawan menimbulkan semangat pragmatisme. 

Buktinya, setiap terjadi pemilihan kepemimpinan orpol dan ormas, hampir selalu ada aroma pragmatisme. Baik pengkondisian, karantina, safari meminta dukungan dan janji-janji hantu selalu dilakukan oleh siapapun yg ingin dipilih. 

Kita mestinya bangga menjadi kader PP, yang ditengah hantaman pragmatisme yg melanda hampir semua orpol,  ormas dan kelompok lainya, kita masih tegar MENGHARAMKAN pragmatisme.  

Lalu apa yang harus dilakukan agar Muswil di Jawa Tengah tidak jatuh dalam pragmatisme? Jawabnya adalah: berpegang pada aturan yang telah disepakati serta menanamkan rasa cinta pada organisasi. 

Pengaturan permusyawaratan Ormas Pemuda Pancasila, secara rinci telah diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga hasil Mubes ke X tahun 2019 di hotel Sultan Jakarta. Selain Mubes, telah diatur juga tata permusyawaratan di level provinsi yang disebut Musyawarah Wilayah. 

Muswil Ormas Pemuda Pancasila adalah pemegang kekuasaan tertinggi  organisasi ditingkat wilayah yang diadakan sekali dalam lima tahun yang mempunyai enam agenda, yakni  menetapkan Laporan Pertanggung Jawaban, menetapkan program kerja, menetapkan pokok pikiran dan rekomendasi, memilih dan menetapkan ketua  Majelis Pimpinan Wiayah (MPW), menyusun dan menetapkan pengurus MPW dan MPO tingkat wilayah, serta menetapkan kebijakan-kebijakan lainnya dalam menghadapi persoalan- persoalan wilayah. 

Dibawah tingkatan muswil, selanjutnya ada Muscab untuk level kabupaten, Rapat Pemilihan  Pengurus Pimpinan Anak Cabang untuk level Kecamatan, hingga Rapat Pemilihan Pengurus Pimpinan Ranting dan Anak Ranting di level Desa/ Kelurahan sampai level RW.   

Setelah mengetahui aturan organisasi, kader juga harus menanamkan rasa cinta pada organisasi. Salah satu caranya adalah mengetahui sejarah organisasi itu sendiri. 

Ibaratnya, bagaimana kita tahu dan mencintai keluarga kita, kalau kita tidak tau siapa ibu bapak kita, siapa nenek kakek kita, siapa saudara-saudara kita. Oleh karena itu, mengingat sejarah organisasi adalah upaya kita menanamkan rasa cinta pada organisasi. Seperti yang telah dikatakan oleh Bung Karno: JAS MERAH, Jangan Sekali kali Melupakan Sejarah. 

Di Jawa Tengah, proses Muswil sudah dilalui selama enam periode. Tentu bukan waktu yang sangat singkat. Untuk mengetahui rekam jejak periode kepemimpinan Pemuda Pancasila di Jawa tengah, kita perlu mundur ke tahun 1992. 

Kala itu Muswil Pemuda Pancasila Jawa tengah kali pertama digelar di Waduk Sempor Gombong Kebumen, dengan 2 calon yakni Bung Tikno dan Bung Fredy Saroinsong, dan ketua terpilih Bung Sutikno Anggoro.  Setelah Muswil , kondisi organisasi adem guyub dan rukun , Bung Fredy tetap menjabat sebagai Ketua MPC Kota Solo.

Dilanjutkan di tahun 1997 Muswil kedua digelar di Hotel Patra Jasa  telah terpilih sebagai ketua Bung Rohmat dan Ketua Harian Bung Budi Supriyanto. 

Lalu, penyelenggaraan Muswil ketiga bertempat di Balai Diklat Srondol 2002 dengan Ketua terpilih Bung Budi Supriyanto. Hingga Muswil keempat di tahun 2007 serta Muswil kelima tahun 2012 menyepakati Nahkoda Organisasi Pemuda pancasila kembali di percayakan kepemimpinannya kepada Bung Budi Supriyanto. 

Dalam periode Muswil VI  , seiring dengan perubahan AD/ART, dimana peserta Muswil disyaratkan harus sudah melaksanakan Muscab  dan sdh berSK, maka Caretaker MPW Jawa Tengah mempunyai tugas yg sangat berat. 

Karena saat itu hanya ada 10 MPC di Jateng yg sdh melaksanakan Muscab dan berSK, masih kurang 18 MPC lagi untuk memenuhi batas minimal 80% MPC yg memenuhi syarat sebagai peserta Muswil.  Syukur atas kerja keras tim , maka persyaratan minimal peserta terpenuhi, 28 MPC sebagai peserta, dan 2 MPC sebagai Peninjau. 

Inilah Muswil tersukses di wilayah Jawa Tengah dari sisi penyelenggaraan. Karena di Muswil ini di hadiri lengkap oleh Gubernur Jateng  Bpk Ganjar Pranowo, Kapolda Jateng, Pangdam Diponegoro dan Petinggi-Petinggi Jawa Tengah lainnya.

Periode tahun 2017 dalam Muswil keenam diselenggarakan di Hotel Sunan Solo dengan ketua terpilih Bung  Bambang Eko Purnomo. 

Dari sejarah singkat muswil Jawa Tengah ini kita bisa memetik pelajaran bahwa kader PP selalu berhasil mengarungi proses musyawarah dengan baik. 

Kalau ada satu dua perbedaan pendapat itu biasa. Yang menjadi tugas para kader adalah meramu perbedaan pendapat menjadi suatu keputusan yang indah untuk disepakati bersama. Ibarat nasi goreng, apakah enak apabila bumbunya hanya garam saja? Tentu tidak. Nasi goreng sedap dinikmati adalah yang di dalamnya ada rasa bawang merah, bawang putih, garam, kecap dan merica. 

Keputusan muswil ini akan menjadi semakin baik bila di dalamnya mencerminkan ide dari seluruh kader. Tidak ada gunanya merasa menang sendiri. Selain tidak mungkin, itu juga justru merusak organisasi. 

Musyawarah adalah momentum perhelatan perumusan arah kebijakan organisasi hingga suksesi kepemimpinan. Organisasi yang telah mengalami fase usia panjang dalam pergolakan politik tanah air, maka seyogyanya membicarakan permusyawaratan, baik ditingkat Nasional, wilayah maupun cabang, harus semakin bijak dan dewasa. 

Muswil bukan kompetisi atau turnamen yang hasilnya kalah menang, musyarawah itu keputusan bersama yang kadang bisa dilakukan lewat pemungutan suara, untuk menentukan siapa yang akan diberi tanggungjawab. 

Ketua Umum MPN Pemuda Pancasila, Bung Japto S. Soerjosemarno pernah berpesan, “Pemuda Pancasila bukan organisasi politik yang bisa dimanfaatkan untuk alat politik, Pemuda Pancasila bagian dari bangsa Indonesia yang lahir dari panggilan sejarah untuk bersinergi bersama dalam membangun bangsa”. 

Maka, ketika di usia  setengah abad lebih, pesan ketua umum seharusnya mampu mendorong semangat kekompakan, demi kemajuan organisasi dan meninggalkan rasa ego personal. 

Sebentar lagi, perhelatan muswil segera digelar, sebaiknya kita perlu refleksi dan mawas diri. Kemajuan organisasi tidak hanya bermodalkan dengan kata, kalimat atau slogan, melainkan  bertumpu pada kontribusi nyata bagi kebesaran organisasi. 

Pemuda Pancasila adalah rumah kita. Saudara kita adalah keluarga. Kita buang jauh rasa kebencian, dan sikap menganggap sesama kader sebagai pesaing atau musuh, yang justru memicu ketegangan dan konflik. Sekarang yang perlu kita lakukan adalah duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Selalu lah ingat pesan Ir. Soekarno: kita kuat karena bersatu, kita bersatu karena kita kuat.