- Masalah Penataan Ruang Di Jawa Tengah
Baca Juga
Oleh: Trisnadi Waskito
Rakyat ialah Sukir/ kusir yang memberikan kursi/ kepada penumpang/ Bernama Sukri/ dengan imbalan/ jempol dan janji/ Sukir dan andongnya/ tetap hepi/ kling klong/ kling klong/ kling klong/ Sukri tak bisa/ duduk enak lagi/ pantatnya sakit digigit kursi ..
Prasetyo Utomo, sastrawan dan Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa dari Universitas Negeri Semarang, saat diminta membahas “Budaya Demokrasi” justru menyodorkan paper berjudul |”Simulakrum dalam Demokrasi” dan mengutip puisi Joko Pinurbo.
Satir dan jenaka, getir bikin ketawa. Begitulah puisi berjudul “Demokrasi” karya sastrawan terkemuka Philipus Joko Pinurbo (11 Mei 1962–27 April 2024). Puisi-puisi Joko Pinurbo atau biasa dipanggil Jokpin – yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa: Inggris, Jerman, Rusia dan Mandarin. Juga telah dimusikalisasikan antara lain oleh penyanyi Oppie Andaresta dalam genre Pop dan oleh maestro pianis Ananda Sukarlan dalam genre musi Klasik. Puisi-puisi Jokpin merupakan perpaduan narasi, humor dan ironi.
“Daya tarik kepenyairan Joko Pinurbo yang memanfaatkan satire, bahasa yang cair, meledek pelaksanaan demokrasi di tanah air kita,” kata Prasetyo Utomo.
Lebih jauh, Prasetyo Utomo, sastrawan, esais dan cerpenis yang mengoleksi banyak penghargaan sastra itu menyatakan, dalam puisi “Demokrasi”-nya Jokpin itu sang penyair memanfaatkan bahasa satire dan simbol untuk mengolok-olok para politisi yang memperoleh dukungan dari rakyat, tetapi lupa diri. Bahkan tokoh politisi itu merasakan penderitaan karena jabatannya, sementara rakyat yang mendukungnya tetap bahagia dalam kehidupannya.
Puisi Sebagai Pisau Analisis
Prasetyo Utomo, sastrawan yang menjadi bagian dari wacana dan gerakan Sastra Kontekstual pada dekade ’80-an yang dicetuskan dan dimotori oleh cendekiawan Arief Budiman (3 Januari 1941–23 April 2020) dan sosiolog Ariel Heryanto itu coba menggunakan puisi sebagai pisau analisis untuk membedah dan memahami kehidupan demokrasi di Indonesia, dari masa ke masa. Dia merujuk puisi lima orang penyair dan sastrawan yang mewakili zamannya: Chairil Anwar (26 Juli 1922–29 April 1949); Taufiq Ismail; Ahda Imran; Hilmi Faiq dan Joko Pinurbo.
“Ketika demokrasi menjadi bagian ekspresi daya cipta, latar sosial politik negara menjadi obsesi penyair, puisi pun menampakkan perkembangan konflik hegemoni kekuasaa,” ujar Prasetyo Utomo.
Para penyair, menurutnya, tak bisa membebaskan diri dari situasi sosial politik yang terus berkembang dalam masyarakat. Lahirlah kemudian puisi-puisi dengan penyingkapan tabir kelam rezim kekuasaan. Munculah puisi yang ditulis penyair dengan latar konfrontasi ideologi rezim kekuasaan.
Prasetyo Utomo, penerima penghargaan Anugerah Kebudayaan 2007 atas Cerpen “Cermin Jiwa” yang dimuat Harian Kompas, 12 Mei 2007 itu melanjutkan analisisnya.
“Saya menemukan lima puisi yang menampakkan dinamika pergeseran demokrasi,” katanya.
Prasetyo menambahkan, dalam buku Derai-Derai Cemara (Yayasan Indonesia, 2000), Chairil Anwar menulis puisi “Siap-Sedia” yang menampakkan sikap kritis terhadap kekuasaan – yang membungkam suara rakyat.
Ketika rakyat kehilangan eksistensi dan tak terlihat dalam peta kekuasaan, mereka tetap bergerak menggantikan peran generasi sebelumnya, bersatu mencapai kemenangan bangsa. Generasi muda memiliki semangat untuk berkorban terhadap negara, karena hidup mereka ditempa jiwa kemiliteran, gagah perkasa mewarnai atmosfer kehidupan masyarakat, dan membawa kebahagiaan dalam larik berikut:
Suaramu nanti diam ditekan/ namamu nanti terbang hilang/ langkahmu nanti enggan ke depan/ tapi kami sederap mengganti/ bersatu maju ke kemenangan.
Darah kami panas selama/ badan kami tertempa baja/ jiwa Kami akan mewarna di angkasa/ kami pembawa ke Bahagia nyata/ kami gagah perkasa.
Dalam kumpulan puisi Tirani dan Benteng (Yayasan Ananda, 1993), Taufiq Ismail menulis “Rendez-Vous” yang berkaitan dengan gegap-gempita demokrasi.
Pada angkatan sastrawan sesudahnya, muncul Taufiq Ismail yang gencar mencipta puisi dengan kritik sosial politik pada rezim kekuasaan. Ia memanfaatkan majas personifikasi untuk menyatakan gugatan terhadap sejarah dan revolusi yang membawa pergeseran zaman. Puisinya meninggalkan dominasi kekuasaan yang menindas dengan senjata, seperti larik-larik dalam puisi “Rendez-Vous” berikut ini:
Kini kami beratus ribu/ mengiringkan langkah sejarah/ dalam langkah yang seru/ dan semakin cepat/ semakin dahsyat/ menderu-deru/ dalam angin berputar/ badai/ peluru/ topan bukit batu.
Dalam buku Lidah Orang Suci (Teroka Press, 2021), Ahda Imran menulis puisi “Percakapan di Kantor Politik” yang mencipta satire perkembangan politik.
Penyair Ahda Imran hadir dari kehidupan yang lebih mutakhir, mengangkat puisi tentang demokrasi dengan negara yang diliputi kepalsuan-kepalsuan yang dilakukan tokoh-tokoh dengan kedok suci keagamaan. Dalam puisi “Percakapan di Kantor Politik”, tampak benar kekuatan simbol yang mempertajam kritik kekuasaan tentang tokoh-tokoh yang memanfaatkan kedok perilaku yang penuh kepalsuan dalam waktu yang singkat, sekejap. Tokoh-tokoh itu berperangai penuh kedok seperti larik berikut ini.
Serupa abu sepotong kayu/ angin mudah menghembuskanku/ aku bersalin warna jubah/ selemas gerak lidah
Dan kuharap kau tahu/ ini permainan belaka, kelana/ para pesolek dari bandar ke bandar/ tak ada seteru atau pertarungan apapun/ melainkan cara menebar umpan/ agar ikan-ikan berkerumun
Penyair lain, Hilmi Faiq, dalam buku Perkara-Perkara Nyaris Puitis (Penerbit Kompas, 2023) mencipta puisi “Di Negeri Saya” dengan satire terselubung humor.
Begitu juga dengan penyair Hilmi Faiq yang menulis buku kumpulan puisi “Di Negeri Saya”, memanfaatkan bahasa yang komunikatif, mudah dipahami pembaca, bermain-main, dan melancarkan satire mengenai pelaksanaan demokrasi di tanah air. Puisi ini mengekspresikan pembungkaman aspirasi rakyat, yang tak pernah didengar penguasa. Aspirasi rakyat terbungkam. Nasib rakyat jelata tak pernah didengar para penguasa. Rakyat hidup dengan ketangguhan jiwa mereka, meskipun atmosfer kekuasaan mengabaikan perjuangan mereka, seperti dalam larik-larik berikut ini.
Di negeri saya/ Suaramu menyelinap di antara rerumputan/ lalu lindap dalam senyap/ Jeritmu mengisi udara, samar/ yang lama-lama tidak terdengar/ dan tidak ada yang/ mau mendengar
Nasibmu terlunta-lunta dalam lipatan dasi/ dan tumpukan komisi/ Tapi kau tak pernah kalah menyerah/ meski ombak tak lagi berdebur/ angin tak lagi mendesau/ dan malam kian kelam
Joko Pinurbo dalam Perjamuan Khong Guan (Gramedia, 2020), menulis puisi “Demokrasi” mengekspresikan ambisi kekuasaan tokoh politik dengan satire dan bahasa simbol Daya tarik kepenyairan Joko Pinurbo yang memanfaatkan satire, bahasa yang cair, meledek pelaksanaan demokrasi di tanah air kita.
Dalam puisi “Demokrasi” yang diutip di awal Laporan Ekslusif ini, Joko Pinurbo memanfaatkan bahasa satire dan simbol untuk mengolok-olok para politisi yang memperoleh dukungan dari rakyat, tetapi lupa diri. Bahkan tokoh politisi itu merasakan penderitaan karena jabatannya, sementara rakyat yang mendukungnya tetap bahagia dalam kehidupannya, seperti petikan puisi berikut ini..
“Perkembangan demokrasi dari masa ke masa tak lepas dari pergeseran hegemoni kekuasaan, latar sosial politik, sikap penyair, dan pergeseran diksi penyair. Kelima penyair yang saya pilih itu merupakan tokoh-tokoh yang terpilih pada zamannya. Mereka menampakkan perkembangan diksi dan sikap dalam memandang perjalanan demokrasi,” kata Prasetyo Utomo, mengakhiri analisisnya.
Tafsir Posmo
Apa yang dikemukakan Dr. S. Prasetyo Utomo dengan paper “Simulakrum dalam Demokrasi” sesungguhnya merupakan bentuk tafsir Postmodernisme atau Posmo – juga lazim disebut Pascamodernisme terhadap teks “Demokrasi”.
Simulakrum, mengutip Wikipedia, merujuk pada sebuah hal tampak, real atau khayal, salinan realitas atau entitas yang telah hilang atau bahkan tidak memiliki dasar realitas asal apa pun. Dalam artian lain, representasi yang tampak bersumber atau berdasar pada hal yang secara ontologis palsu atau tidak tulen sehingga keberadaannya hanya absah berdasarkan pada status realitasnya sendiri.
Simulakrum merupakan konsep, satu di antara bagian paling kuat penyusun wacana Postmodernisme. Dan umumnya bertautan dengan espresi kritis atas realitas yang dinilai hubungan representatif antara tanda dan maknanya terganggu.
Konsep yang merujuk pada simulakrum sesungguhnya sudah jadi buah pikir sejak zaman Yunani Kuno. Menurut teori ‘Dunia Ide’ Plato (Athena Klasik – Athena Yunani), ide adalah entitas yang sempurna dan turunan ide, misalnya benda-benda fisikal dinilai inferior karena pada dasarnya benda-benda yang ada adalah tiruan dari ide yang sempurna. Oleh karena itu, esensi (ousia) yang secara inheren dikandung dalam benda-benda fisikal itu dinilai rendah.
Konsepsi tersebut tertuang dan diilustrasian dalam seri dialog Sang Sofis. Digambarkan oleh Plato, sebuah patung yang di bagian atas dibuat lebih panjang katimbang bagian bawah, sehingga pengamat di dasar patung dapat mengamati wujud patung secara proposional dan harmonis. Namun, jika diamati lebih lanjut, pengamat akan menyadari bahwa patung tersebut terlihat cacat.
Ilustrasi tersebut adalah pembacaan realitas yang berdasarkan pengamatan dan pembuktian bahwa objek dalam realitas memiliki hakiat lebih rendah katimbang yang ada dalam dunia ide – yang sempurna.
Kembali kepada tafsir posmo Dr. Prasetyo Utomo dengan Simulakrum-nya atas ide “Demokrasi” maka kita akan ditantang untuk mengamati ulang, berpikir ulang, merenung ulang: benarkah kehidupan demokrasi di Indonesia hari-hari ini, di tengah gairah peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, benar-benar merupakan real demokrasi, demokrasi sejati. Atau justru hanya demorasi palsu, demorasi semu – sebuah simulakrum: Demokrasi Seolah-olah ..........
- Pekan Wirausaha Sragen-Karanganyar, Dorong Munculnya Inovasi Baru Untuk UMKM
- DRPD Jawa Tengah Optimalkan Pembangunan Daerah Berdampak Bagi Masyarakat
- Tindak Pidana Penipuan Tanah Kavling Dilimpahkan Kepada Kejari Karanganyar