- Gas LPG Langka Di Jateng, DPRD Bahas Bersama Pertamina Jamin Tak Ada Lagi Kendala
- Isu PHK: TVRI Dan RRI Meluruskan Pemahaman PHK
- Benarkah Ada PHK Massal Pegawai TVRI Dan RRI?
Baca Juga
Semarang - Indonesia merupakan negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri dari wilayah daratan dan lautan. Jumlah pulau di Indonesia, baik yang besar maupun yang kecil, mencapai 17.508 pulau.
Berdasarkan hasil Konvensi Hukum Laut Internasional atau “United Nation Convention on the Law of the Sea” (UNCLOS) pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica, luas wilayah laut Indonesia mencapai 3.257.357 km², dengan batas wilayah laut/teritorial dari garis dasar pantai sejauh 12 mil ke laut. Sedangkan luas daratannya mencapai 1.919.443 km². Secara menyeluruh, luas wilayah lautan dan daratan mencapai 5.176.800 km2.
Sebagai konsekuensi dari negara kepulauan yang memiliki laut yang luas maka penduduk yang mengantungkan hidupnya pada laut khususnya nelayan juga jumlahnya besar. Jumlah nelayan tangkap Indonesia adalah lebih dari 2.000.000 orang dan 80% lebih merupakan nelayan kecil.
Definisi Nelayan Kecil menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 Gross Ton (GT).
Kehidupan nelayan kecil di Indonesia khususnya saat ini boleh dikatakan belum baik. Ada beberapa sebab mengapa hal itu terjadi. Pertama, penggunaan alat tangkap yang sederhana dan kapal yang kecil membuat hasil tangkapan nelayan kecil tidak banyak. Hasil tangkapan yang tidak banyak itu tidak akan mencukupi untuk memenuhi kehidupan sehari-hari jika hanya mengandalkan hasil tangkapan ikan saja.
Kedua, nelayan kecil juga rawan terhadap dampak pembangunan yang bisa membuat daerah tangkapan mereka berkurang. Beberapa contoh bisa disebutkan misalnya pembangunan resor yang diikuti dengan privatisasi pantai sebagai bagian dari resor. Akibatnya nelayan kecil tidak bisa lagi menangkap ikan di sekitar pantai tersebut dan untuk menangkap ikan di jarak yang lebih jauh tidak memungkinkan.
Contoh lain adalah pembangunan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Batang yang menyebabkan air laut di sekitar pantai memanas serta polusi suara yan membuat ikan-ikan menjauh dari area penangkapan ikan nelayan kecil. Lagi-lagi untuk melakukan penangkapan ke area yang lebih jauh nelayan kecil tidak mampu.
Ketiga, nelayan kecil juga tidak mampu melakukan adaptasi dengan baik terhadap terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklmi yang terjadi dan semakin intensif membuat gejala-gejala alam yang dulu bisa diprediksi untuk kepentingan nelayan melaut sekarang ini tidak lagi bisa diprediksi dengan cara-cara tradisional.
Hal-hal atau fenomena alam tersebut contohnya adalah arah angin, pasang surutnya air laut, waktu dan tempat ikan berkumpul, dan lain-lain. Nelayan besar sekarang ini dengan kemajuan teknologi digitaal bisa beradaptasi dan menemkan cara untuk melihat fenomena alam tersebut dengan bantuan teknologi digital karena mampu membeli dan menggunakannya, sementara nelayan kecil tidak.
Di samping berbagai masalah yang melilit nelayan kecil, ternyata nelayan kecil pun juga menyebabkan masalah khususnya bagi lingkungan antara lain: penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (misalnya: bom dan racun), limbah bahan bakar kapal, dan limbah dari hasil tangkapan.
Kedua hal tersebut bisa diatasi dengan cara meningkatkan kehidupan nelayan kecil dengan cara menerapkan ekonomi sirkular. Yang dimaksud dengan ekonomi sirkular adalah mendayagunakan limbah dari hasil tangkapan nelayan kecil menjadi barang yang berguna yang bisa dikomersialkan atau dijual untuk meningkatkan pendapatan nelayan kecil.
Kasus Di Batang
Nelayan kecil di Batang juga terbelit masalah seperti yang telah dipaparkan. Penghasilan mereka kecil karena alat tangkap yang terbatas kapasitasnya serta perahu kecil yang tidak bisa jauh dalaam melaut. Ditambah dengan adanya pembangunan Pembangkit Tenaga Uap (PLTU) yang menyebabkan polusi suara dan air yang menjadi panas sehingga nelayan kecil terpaksa menangkap ikan yang lebih jauh dengan konsekuensi biaya yang lebih besar (karena bahan bakar yang digunakan lebih banyak), waktu yang lebih lama, dan resiko yang lebih besar pula sehingga pendapatan nelayan kecil semakin berkurang,
Limbah dari hasil tangkapan yang jumlahnya cukup besar di Batang adalah limbah kulit kerang Srimping. Hal ini bisa dilihat dari jumlah hasil kerang Srimping yang sempat mencapai 150 ton di tahun 2020 lalu. Kerang Srimping ini kemudian akan diambil dagingnya kemudian cangkangnya dibuang.
Cangkang yang dibuang tersebut biasanya masih ada sisa dagingnya dan dibiarkan kian menumpuk. Hal ini berdampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Sisa daging yang membusuk di cangkan akan menjadi sarang bakteri yang berbahaya bagi Kesehatan manusia yang dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti: penyakit kulit, gangguan pencernaan, serta gangguan pencernaan.
Sementara itu di sisi yang lain limbah kerang Srimping berupa cangkang ini punya potensi ekonomi yang sangat besar. Cangkang Srimping bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak, obat, kosmetik, dan untuk kerajinan tangan.
Menyadari hal tersebut, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, dan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Diponegoro (Undip) baru-baru ini mengadakan pengabdian masyarakat untuk pemanfaatan cangkang kerang Srimping untuk kerajinan tangan di desa Roban Barat Kabupaten Batang.
Pengabdian ini dibiayai dari Lembaga Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Undip dari sumber non-APBN dan menggandeng CV Multi Dimensi Shellcrafts asal Cirebon yang memproduksi dan menyalurkan berbagai kerajinan ke berbagai tempat. Pasar mereka sudah sampai pasar ekspor ke berbagai negara. Kegiatan ini diharapkan bisa membuka wawasan nelayan kecil setempat unuk memanfaatkan limbah cangkang kerang Srimping yang menumpuk untuk kerajinan yang bernilai ekonomi tinggi.
Rencananya kegiatan ini akan berlanjut dengan pendampingan terus menerus dengan berbagai bentuk pemanfaatan lain dan juga sampai kepada pemasaran produknya. Sebab jika tidak, maka akan seperti pengabdian yang sering terjadi yang dilakukan oleh banyak pihak, yang berhenti sampai tahap produksi tetapi tidak dilanjutkan ke pemasaran, sehingga produksi kerajinan yang sudah diajarkan juga akhirnya menumpuk karena tak ada pasarnya sehingga menjadi sia-sia.
Prof Dr Nugroho SBM MSi, Guru Besar Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro, Semarang
- Harvei Moeis Menerima Hukuman Lebih Berat Pada Tingkat Pengadilan Tinggi
- Kapolres AKBP Rosyid Hartanto Bersama FKUB Boyolali Bersinergi Jaga Kerukunan Umat Beragama
- Kapolres Boyolali AKBP Rosyid Hartanto Kawal Pengambilan Sertifikat Tanah Lapangan Desa Sendang