Fakta Pailit Sritex: Pasca Putusan Mahkaman Agung

Logo Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dokumentasi
Logo Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dokumentasi

Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1345/Pdt.Sus-Pailit/2024 yang disampaikan oleh Ketua Hakim Agung Hamdi pada Rabu (18/12) memberikan kekuatan hukum tetap alias inkracht terhadap status pailit PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex.

Putusan MA tersebut sekaligus menguatkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang pada 21 Oktober 2024 yang memutus Sritex pailit.

Keterpurukan perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara ini menyisakan fakta miris dan membutuhkan penanganan cepat dan solutif, karena menyangkut nasib ribuan karyawan yang menggantungkan hajat hidupnya pada perusahaan ini.

"Total karyawan Sritex Group sebanyak 50.000an. Yang terdampak langsung ada sekitar 15.000 dari empat perusahaan," ujar Slamet Kuswanto, koordinator Serikat Pekerja Sritex Group, Sabtu (21/12).

Slamet menyebutkan besarnya jumlah karyawan yang terdampak merupakan fakta utama yang harus segera disikapi oleh pemangku kebijakan pasca putusan pailit.

“Setidaknya ada sebanyak 15.000 karyawan yang terdampak. Karyawan tersebut merupakan bagian dari empat perusahaan antara lain Sritex, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya,” ungkap Slamet, yang menyebut dirinya temasuk karyawan yang terdampak.

Menurut Slamet, hingga saat ini perusahaan belum mengambil langkah pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, karena proses kepailitan berlangsung maka operasional pabrik tidak dapat berjalan optimal karena kendala ketersediaan bahan baku yang terbatas.

"Pada saat ini, karyawan sudah tidak bekerja disebabkan karena tidak ada bahan baku untuk produksi. Sebagian yang masih bekerja hanya untuk menyelesaikan atau yang bahan bakunya masih ada sehingga masih bisa dikerjakan. Ini disebabkan karena belum ada izin. Going concern-nya itu," ujarnya.

Slamet memperkirakan, sudah ada sekitar 3.000 karyawan dari empat perusahaan tersebut yang saat ini dirumahkan. Mayoritas dari mereka ialah karyawan yang menangani proses pemintalan benang. “Kondisi ini disebabkan karena ketersediaan bahan baku benang, yaitu kapas untuk pembuatan benang yang kian menipis sehingga proses spinning tidak dapat dilakukan,” jelasnya.

Slamet juga menyampaikan bahwa pekerja yang dirumahkan ini dibayar sebesar 25% gaji. Sedangkan yang masih bekerja ke pabrik dibayar secara normal.

Meski demikian, ia memastikan tidak ada gaji karyawan yang nunggak. Perusahaan masih tetap membayarkan gaji sesuai dengan jumlahnya, ditambah dengan hak tunjangan yang seharusnya.

Slamet menjelaskan pula bahwa kendala utama dari minimnya ketersediaan bahan baku ini lantaran perusahaan tidak mendapatkan izin impor selama proses kepailitan. Kondisi ini bahkan sudah terjadi sejak 2020 silam dan ini makin mempersulit proses produksi.

"Jadi kalau ada bahan baku masuk, produksi jalan; kalau nggak ada, ya dirumahkan. Ini sudah terjadi sejak 2020, sebelum proses pailit diputus PN Semarang," ujar Slamet.

Kendala lain yang disebutkan oleh Slamet adalah belum adanya penetapan status going concern dari kurator dan hakim pengawas, sehingga menghambat aktivitas produksi. Going concern ini menyatakan perusahaan dianggap masih mampu beroperasi, sehingga bisa melakukan aktivitas untuk menjaga kelangsungan perusahaan melalui proses produksi. Status ini penting agar aktivitas penunjang produksi, seperti impor bahan baku masih bisa dilakukan.

"Sangat penting bagi kami untuk menerima kejelasan status karyawan. Kalau PHK, jelas nanti kita tuntut pertanggungannya. Kalau going concern maka kewajiban kurator membayar gaji, upah kita. Tapi ternyata going concern juga tidak, PHK juga tidak. Jadi sementara ini yang menjalankan masih debitur yaitu owner Sritex itu sendiri," ungkapnya.

Slamet bersama para buruh berharap agar proses pailit ini dicabut dan kembali ke proses homologasi perdamaian. Dengan demikian industri tetap berjalan, karyawan bekerja, serta utang-utang kreditur tetap terbayar.

Lebih lanjut, Slamet menyebutkan adaya dua proses kepailitan, yaitu pemberesan dan going concern. Dan going concern itu bisa dilakukan oleh siapapun, oleh investor dari manapun. Disinilah kemudian pemerintah bisa memainkan peran pentingnya.

"Demi menjaga kesejahteraan karyawan, harapan kami perusahaan bisa mendapatkan going concern. Dengan demikian hubungan kerja tetap terjadi, pekerjaan berlanjut dan upah tetap dibayar secara normal,” harapnya.

“Daripada menunggu pemberesan atas harta pailit yang nanti akan dilelang, dijual, entah kapan lakunya. Kita belum tentu dapat pesangon, sementara upah sudah tidak kita dapatkan, dan lapangan pekerjaan pun belum tentu juga kita dapatkan," sambungnya.

Sembari menunggu perusahaan melakukan upaya peninjauan kembali (PK) usai Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex, perusahaan mengimbau agar seluruh karyawan tetap tenang dan fokus bekerja.