- Ibu Kota Vietnam Perpanjang Pembatasan Ketat Selama Dua Pekan
- Sputnik V 83 Persen Diklaim Efektif Melawan Varian Delta
- Prancis Tak Akan Akui Pemerintahan Baru Afghanistan
Baca Juga
Tak dipungkiri, penerapan tarif resiprokal yang diterapkan pemerintahan Donald Trump berdampak siginifikan terhadap dunia global. Namun begitu, dibalik hal negatif yang muncul, kebijakan ini bisa dijadikan momentum untuk membangun masa depan setiap bangsa yang lebih baik, yang bebas dari ketergantungan.
Demikian pesan yang disampaikan Direktur Geopolitik GREAT Institute, Teguh Santosa, mengomentari salah satu perdebatan yang terjadi di Boao Forum for Asia (BFA) di Hainan, Tiongkok, tanggal 25 sampai 28 Maret yang lalu.
Pesan itu dituliskan Teguh yang juga dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, di laman Facebook milik pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal.
Dino sendiri memang mengundang teman-teman Facebooknya untuk mengomentari terkait potongan video yang diunggahnya terkait debat menarik antara Prof. Jeffrey Sach dari Columbia University dan Prof. Kishore Mahbubani dari NUS Singapura, serta mantan Duta Besar Tiongkok untuk AS (2013-2021) Cui Tiankai.
Teguh Santosa yang mengenal baik Dubes Dino Patti Djalal pun memanfaatkan kesempatan ini untuk menyampaikan pandangannya.
Teguh mengatakan, dirinya menyukai frase yang disampaikan Dubes Cui Tiankai bahwa dunia ini “bukan komunitas minus 1”.
“Kita menghadapi pemerintahan Trump, dan itu mungkin akan berubah dalam beberapa tahun,” ujarnya.
Dengan demikian, Teguh mengajak agar kebijakan Trump itu dijadikan momentum bagi masyarakat dunia, setiap negara, untuk memikirkan kembali masa depan yang lebih baik, untuk membuka banyak peluang, untuk menunjukkan kemampuan masing-masing negara dalam membangun jembatan hubungan tanpa bergantung pada kekuatan tertentu.
“Sejarah memperlihatkan bahwa kita telah berkali-kali belajar dari situasi buruk dan terburuk,” demikian Teguh.
Sekedar informasi, Dion Patti Djalal yang yang juga pernah menjadi Dubes Indonesia di AS (2012-2013) memang menghadiri langsung BFA 2025 itu.
Ia pun memposting debat Prof. Jeffrey Sach dari Columbia University dan Prof. Kishore Mahbubani dari NUS Singapura, serta mantan Duta Besar Tiongkok untuk AS (2013-2021) Cui Tiankai.
Awalnya, Prof. Sach mengatakan, bahwa sudah saatnya Amerika Serikat diabaikan. Dunia, katanya, membutuhkan teknologi hijau dan digital, dan Republik Rakyat Tiongkok memimpin di sektor itu.
“Gagasan bahwa AS adalah pusat dari semesta adalah delusional untuk waktu yang cukup lama,” ujarnya.
Dia menambahkan, dunia mungkin tidak akan menyaksikan kehancuran AS, tetapi akan melihat AS tidak lagi menjadi kekuatan yang mengendalikan perubahan, peraturan, prinsip-prinsip, dan organisasi dunia.
Sementara Prof. Mahbubani berpendapat sebaliknya. Dunia, menurut dia, tidak mungkin mengabaikan AS mengingat negara itu sangat besar dan luar biasa serta memiliki pengaruh pada Asia.
“Kita tidak dapat mengabaikannya. Tetapi di saat yang sama saya juga mengatakan, adalah sebuah kesalahan memandang remeh perlawanan dari kawasan ini. Sangat mungkin Asia akan lebih baik daripada negara-negara lain di dunia,” ujarnya.
Adapun Dubes Cui mengatakan, para diplomat sebenarnya ingn mengatakan kepada AS agar memperhatikan urusan mereka sendiri, dan tidak ikut campur dalam urusan negara lain.
“Kami tidak ingin mengabaikan AS. Kami sangat ingin AS mengabaikan kami,” ujarnya.
Tetapi, sambung Dubes Cui, di saat yang sama kita harus membangun komunitas bangsa-bangsa demi masa depan bersama. Dan itu meliputi AS.
“Ini bukan komunitas minus 1. Ini komunitas plus 1,” ujarnya.
- Pengelolaan Daerah Setengah Hati, Program Transportasi Umum di Kota Besar Belum Memuaskan
- Lewat 'Ngopeni' dan 'Ngelakoni', Luthfi-Yasin Yakin Bisa Wujudkan Keinginan Masyarakat
- Andika-Hendi Optimis Wujudkan Jateng Sejahtera Berbudaya, Terdidik, Sehat dan Inklusif