Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) megeluhkan minimnya
investor lokal yang bermain di bursa saham Indonesia. Padahal, investor
lokal sangat dibutuhkan untuk menggenjot daya serap pasar.
- KPK Ditagih Janji Periksa Sri Mulyani Dan Anggota KSSK
- Mobil Di Rumah Orang Kepercayaan Eks Kalapas Sukamiskin Disita KPK
- Dipinang 7 Partai, Kristina Pilih Partai Nasdem Untuk Duduk Di Senayan
Baca Juga
Sekretaris Jenderal AEI Isaka Yoga mengaku, makin banyak perusahaan yang meÂnawarkan saham di bursa. "Namun belum banyak calon emiten dengan potensi kapiÂtalisasi pasar besar yang menÂcatatkan diri di bursa," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Untuk diketahui, proses penÂcatatan saham lewat Initial Public Offering (IPO) terus coba ditingkatkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Hingga saat ini, BEI mencatat sudah ada sekitar 31 perusahaan yang mencatatkan diri di bursa saham sepanjang tahun 2018 ini.
Ia mengungkapkan, salah satu faktor masih minimnya calon emiten dengan kapitalisasi besar karena keterbatasan investor lokal di bursa saham. "Dari segi kemudahan IPO kan sudah ada, hanya investor lokal kita kurang besar," ungkapnya.
Dengan minimnya investor lokal di bursa saham membuat serapan IPO menjadi kecil pula. Contohnya, andai PT Freeport Indonesia berencana IPO 5 persen saham saja, daya serap pasar saat ini belum akan mampu menampungnya.
Isaka menilai, penambahan investor lokal menjadi sangat penting demi menambah daya serap. "Beberapa langkah eduÂkasi seperti kegiatan Yuk NabÂung Saham musti terus digenjot sampai ke daerah," tuturnya.
AEI juga mengusulkan biaya pencatatan saham tahunan (anÂnual listing fee) bagi para emiten di BEI kembali ke format lama, berdasarkan modal disetor. Hal ini untuk menarik emiten-emiten berkapitalisasi besar atau big caps masuk ke BEI.
Saat ini, biaya pencatatan tahunan ditetapkan sebesar Rp 500.000. Itu untuk setiap kelipaÂtan Rp 1 miliar dari jumlah nilai kapitalisasi saham terkini perusaÂhaan tercatat yang bersangkutan paling kurang Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
"Perhitungan seperti ini menjadikan perusahaan yang besar seakan-akan malah mendapatkan hukuman karena listing fee-nya lebih besar," ungkap Isaka.
Deputi Komisioner PenÂgawas Pasar Modal II OJK Fakhri Hilmi belum lama ini mengatakan, bahwa pihaknya masih terus berkomunikasi dengan Kementerian KeuanÂgan untuk menentukan tarif baru pungutan emiten itu. "Itu koordinasi OJK dengan Kementerian Keuangan. Kami berharap tahun ini juga seleÂsai," kata dia.
Rencananya, penurunan pungutan tidak hanya pada emiten namun juga pada peÂrusahaan efek. Dalam PP No. 11/2014 ada tiga jenis perusaÂhaan efek yang dikenai pungÂutan, yakni agen penjual efek reksa dana, penjamin emisi efek dan perantara perdaganÂgan efek, serta perusahaan pemeringkat efek.
Pungutan yang berlaku untuk ketiganya sama, yakni sebesar 1,2 persen. Namun Fakhri belum bersedia menyebutkan besaran pungutan yang baru, baik untuk perusahaan efek maupun untuk emiten.
- Santri Sukabumi Deklarasikan Dukung Jokowi
- Dibakar Cemburu, Suami Bunuh Isteri
- Eks Anggota KPU: Presidential Threshold Aturan Konyol Yang Langgar UUD