Jack Edward dan Rebranding Salatiga Lewat Free Walking Tour

Kegiatan perdana yang digagas Free Walking Tour (FWT) Salatiga, pada 17 Agustrus 2021 lalu. foto: dok FWT.
Kegiatan perdana yang digagas Free Walking Tour (FWT) Salatiga, pada 17 Agustrus 2021 lalu. foto: dok FWT.

Bagi Jack Edward Silalahi, Salatiga adalah kota yang spesial. Di kota sejuk ini, pria Batak ini menemukan tambatan hatinya, seorang perempuan Jawa. Bukan hanya itu, insinyur pertambangan ITB ini, sekaligus juga jatuh cinta pada kota yang mendapat julukan De Schoonste Stad van Midderi-Java atau kota terindah di Jawa Tengah.


Berawal dari kecintaannya berjalan kaki, pria kelahiran Pekanbaru, 10 September 1979 ini, menggagas Free Walking Tour (FWT), untuk mengangkat potensi wisata dan ekonomi Kota Salatiga. Bukan hanya jalan kaki biasa, Jack Edward serius menekuni gagasannya itu.

Lewat FWT, dia fokus melakukan Rebranding, Repositioning, dan Restrukturisasi.  ‘’Di tahapan Rebranding, kami ingin agar Salatiga tidak hanya dikenal sebagai kota transit atau sekadar tempat makan,’’ ungkap Jack, kepada RMOL  Jateng, Selasa (23/11).

Jack Edward saat berbagi gagasan di depan para anggota PHRI dan pegiat wisata di Salatiga. foto: dok pribadi.

FWT Salatiga, kata Jack,  ingin agar Kota Salatiga dikenal sebagai Heritage City, kota buatan Belanda yang kaya dengan bangunan bersejarah. Rupanya, gagasan bernas Jack mendapat sambutan positif Walikota Salatiga, yang menjadikan gerakan ini bagian dari kegiatan untuk memromosikan Salatiga kepada dunia luar.

Pria beranak satu ini menuturkan, kegiatan perdana FWT pada 17 Agustus 2021 lalu. Bersama lima orang sahabatnya dari berbagai kota,  dia berjalan kaki kurang lebih 1,3 km dari Alun-alun Salatiga Pancasila sampai ujung Jalan Sukowati belok kiri sampai Bundaran Tamansari. Sepanjang jalan peserta akan dijelaskan tentang bangunan bersejarah yang dilewati

‘’Dari Bundaran Tamansari, perjalanan dilanjutkan dengan naik angkot yang sudah diperlengkapi dengan audio berisi penjelasan tentang gedung-gedung bersejarah yang dilewati,’’ ujar pria yang sejak 2009, bekerja sebagai Financial Planner.

Angkot dinaiki peserta tour sampai Benteng Hock dan kembali lagi ke titik awal.  Untuk sementara, baru satu angkot yang dilengkapi audio itu. Dia berharap, nantinya audio tersedia di semua angkot di Salatiga. 

‘’Ini juga bertujuan memberdayakan angkot karena mereka menerima tips dari penumpang. Nantinya becak dan delman juga bisa memakai audio tersebut sehingga tidak sekadar alat transportasi, juga jadi moving history keeper,’’ papar pria yang sejak April 2021 memutuskan tinggal permanen di Salatiga, setelah lama bermukim di Jakarta.

Untuk menikmati bangunan bersejarah, kata Jack,  tidak bisa dilakukan dengan motor, mobil atau sepeda,  karena akan banyak detail bangunan bersejarah yang terlewatkan.

Gerakan Ekonomi

Free Walking Tour Salatiga, kata Jack,  adalah gerakan ekonomi, bukan sekadar gerakan sejarah. Tujuannya,  membantu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Salatiga, agar pemerintah bisa memiliki dana untuk merawat, bahkan membeli bangunan-bangunan bersejarah yang ada di kota ini.

Respon positif juga datang dari sejumlah pihak. Ketua PHRI Salatiga Arso Adji Sadjiarto yang pada 11 November lalu, mengundang FWT untuk berbagi gagasan kepada para pelaku wisata, khususnya kalangan perhotelan dan restoran di kota ini.

Theresia Tarigan, sahabat dekatnya yang juga aktivis Koalisi Pejalan Kaki Kota Semarang (KPKS) sangat mendukung dan bangga dengan gagasan brilian Jack Edward. ‘’Ini gagasan yang brilian. Kami sama-sama penyuka jalan kaki. Meskipun terbilang baru, gagasan ini dengan cepat ditularkannya kepada para pengambil keputusan di Salatiga,’’ ujar Theresia.

Gagasan Jack Edward untuk merebranding Salatiga tentu patut diapresiasi. Dukungan para pengambil keputusan dan pegiat wisata juga sangat diperlukan, agar negeri ini kian bergerak ke arah yang semakin maju dengan banyak gagasan anak muda yang inovatif, seperti yang dilakukan Jack Edward.