Jemparingan, Tradisi Turun Temurun Bagian Dari Jamas Pusaka di Demak

Beberapa orang dari berbagai daerah, menggelar tradisi Jemparingan atau Panahan, di Kabupaten Demak, Sabtu (9/7) siang.


Tradisi Jemparingan atau Panahan tersebut, merupakan bagian dari Tradisi Jamasan Pusaka Kanjeng Sunan Kalijaga. Dalam tradisi ini, para penjemparing atau pemanah mengenakan pakaian adat jawa lengkap.

Penjemparing, memanah dengan duduk bersila. Bahkan beberapa diantaranya menjalankan puasa saat melakukan tradisi tersebut.

Mike Santana, Panitia Jemparingan Lembaga Adat Kadilangu, menjelaskan adanya kegiatan tersebut masuk dalam rangkaian tradisi penjamasan pusaka Kanjeng Sunan Kalijaga. Menggunakan busur yang terbuat dari kayu dan anak panah atau Jemparing dari bambu. Para penjemparing memanah ke target atau wong-wongan yang memiliki filosofi mendalam.

"Ini (Jemparing) juga masuk dalam tradisi jamasan pusaka Sunan Kalijaga. Selain itu juga sesuai syariat agama," jelasnya.

Menurutnya, kegiatan Jemparingan ini sesuai dengan syariat Rasulullah. Adanya Jemparingan ini, mulai ada sejak jaman kewalian.

"Tradisi Jemparingan ini ada sejak pada zaman kewalian, maka dari itu kami melakukan untuk menjaga tradisi," tambahnya.

Terkait filosofi dari jemparingan ini, Agung Sumedi, Sesepuh dari Komunitas Jemparingan yang berasal dari Yogyakarta, mengatakan banyak makna filosofis didalam Jemparingan ini. Bahkan, dalam tradisi ini juga mengandung ajaran syariat Islam.

"Jemparingan adalah sebuah konsep olahraga dan olah rasa, terlihat, olahraga adalah kegiatan Jemparing atau memanah. Namun, olahrasa adalah konsep ketika wong-wongan sebagai target yang diumpamakan diri sendiri," jelasnya.

Dari target wong-wongan ada empat warna, yakni merah, kuning, putih, hitam. "Warna merah pada Mustoko atau kepala dilambangkan sebagai amarah, angkara murka yang harus ditaklukan. Sedangkan jonggo atau leher yang berwarna kuning diibaratkan mulut atau lathi agar selalu menjaga lesan dengan baik," katanya.

Ia juga menerangkan, warna putih yang terletak pada awak atau tubuh adalah suatu hal yang putih dan bersih yang harus dicapai. Sedangkan hitam, pada bagian bawah adalah lambang syahwat atau nafsu.

Konsep Jemparingan secara keseluruhan diartikan sebagai cara untuk menata diri, bagaimana kita melawan diri kita sendiri. Penjemparing harus konsentrasi penuh untuk mengenai sasaran yang berukuran kurang lebih 20cm dengan jarak 20-30 meter.

"Sasaran wong-wongan tersebut ditembak dengan anak panah yang terbuat dari bambu dengan ujung baja, dengan busur panah dari kayu yang kuat," urainya.

Mereka, memanah dengan anak panah berjumlah lima anak panah dengan makna sholat lima waktu secara bertahap atau banyon (ronde) hingga 17 kali yang dimaknakan 17 rekaat atau total dari rekaat sholat lima waktu.