Presiden Joko Widodo bessama Ibu Negara Iriana dan rombongan, berkunjung ke dua negara yakni Korea Selatan dan Vietnam. Di Korsel, Jokowi bersama Presiden Moon Jae-In akan membahas penguatan kerjasama kedua negara di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu.
- PKD Harus Berani Lakukan Penindakan Terhadap Pelanggaran Pemilu
- KPK Berharap Anggaran 2019 Yang Diajukan Tak Dikurangi
- Klaim Kantongi Mandat Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Putra Semarang Ini Tertarik Jadikan Salatiga Kota Metro
Baca Juga
Mendengar kabar keberangkatan Presiden Jokowi ke negeri K-Pop tersebut, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah pun berpesan kepada Presiden Jokowi agar mempelajari sejarah pemberantasan korupsi di Korsel, khususnya sejarah KICAC (Korean Independent Commision Against Corruption), lalu diganti ACRC (Anti Corruption and Human Right Commision) gabungan banyak lembaga termasuk Ombudsman itu.
"Bapak Presiden Jokowi tidak boleh terlalu lama membiarkan negara dalam keadaan 'darurat korupsi', seperti tuduhan selama ini. Karena kalau tuduhan itu benar, maka artinya presiden gagal memberantas korupsi. Presiden akan ditagih rakyat. Maka sekarang ambillah keputusan yang radikal," kata Fahri saat dihubungi wartawan, Senin (10/9) sebagaimana dikutip dari Kantor Berita
Sebut politisi dari PKS itu, hanya di Indonesia saja darurat korupsi menjadi kesibukan satu lembaga, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Bahlan, presiden sendiri tidak menyebut darurat melihat begitu merata 'tangkapan KPK', sehingga semua partai dapat disebut sebagai lumbung koruptor menurut cap yang dibuat lembaga antirasuah itu.
"Terakhir KPK menangkap hampir semua anggota legislatif Kota Malang. Lalu, mempersoalkan tiket Asian Games 2018, tapi diam setelah dibantah wakil presiden. Jadi hanya di Indonesia definisi korupsi masih kita sengketakan. Bagaimana bisa kita selesaikan?" ujar Fahri.
Lanjut dia, dari semua negara yang dipelajari, Korsel paling baik jadi contoh Indonesia dalam pemberantasan korupsi. Pembubaran KICAC dan diganti oleh ACRC adalah karena ekonomi yang terganggu. Manuver KICAC bikin rusak iklim usaha dan kebebasan sipil. Maka anti korupsi digabung dengan HAM.
"Sementara di kita aneh, tidak ada koordinasi. Definisi korupsi saja enggak jelas. Ada lembaga sibuk sendiri yang lain menonton dan lebih baik menghindar. Akhirnya sejak 2002 (persis sama dengan tahun berdirinya KICAC) di Indonesia berkembang suasana tidak pasti," sebut dia.
Sementara itu, masih menurut Fahri, evaluasi atas UU yang sudah berumur 16 tahun terus ditentang. Bahkan, usulan amandemen terhadap konstitusi, seperti mau mengubah kitab suci.
"Demonstrasi dikerahkan dan ancaman dilayangkan 'koruptor menyerang balik'. Jadilah ia lembaga suci yang tidak boleh diganggu gugat," sindir anggota asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu lagi.
Namun, lanjut Fahri, semuanya terserah Presiden Jokowi yang pasti melihat pelambatan ekonomi. Dan, akhirnya pemerintah mencabut subsidi, utang ke luar negeri, proyek dikerjain sendiri dan BUMN disuruh utang bunga tinggi. Mungkin, nanti BUMN bisa-bisa dijual ke luar negeri.
"Ini semua karena ketidakpastian hukum. Sambil Pak Jokowi berpikir, teken saja kerjasama dan ikut saja pola Korea Selatan. Tidak usah malu untuk kebaikan negeri. Lihat Korsel itu, industri hidup, kelas menengah tumbuh. Kita merdeka bareng, bikin KPK bareng tapi hasil lain. Kenapa? Karena mereka mau koreksi," cetusnya.
Tambah Fahri, bangsa Indonesia berkejaran dengan waktu. Sementara Korea Selatan tambah menguasai industri dunia, mulai soal otomotif, elektronik dan digital media, sampai K-POP dan restoran di mana-mana.
"Eh kita sibuk tangkap pencuri. Dan dianggap prestasi. Tambah banyak dianggap tambah sukses," sindir Fahri.
- Elektabilitas Airlangga Masih Kurang Menggembirakan
- 12 Perempuan Kader PAN Wakili Pendaftaran Terakhir DPD Jateng di KPU
- Gus Zaim : AD/ART NU, MLB Boleh Asal Memenuhi Syarat