Kebijakan Kementerian Agama yang merilis 200 nama mubalig yang dijadikan rujukan dinilai memiliki dua sisi mata uang.
- Coblosan Berjalan Lancar, Bawaslu Dan KPU Tidak Menerima Aduan Pelanggaran
- Warga Demak Agar Gunakan Hak Pilih Dan Tidak Golput
- Unsur Sekjen Isi Tim Inti Pemenangan Jokowi
Baca Juga
Ahli Hukum Tata Negara, A. Irmanputra Sidin menjelaskan kebijakan tersebut menandakan negara hadir dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurutnya negara dan agama memang tidak bisa dipisahkan, negara membutuhkan agama begitu pula sebaliknya. Negara dalam hal ini konstitusi hidup dari basis atau nilai agama.
Salah satu contoh anggaran pendidikan dialokasikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dengan tujuan membangun manusia Indonesia beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang dalam Pasal 31 ayat (3) dan (4) UUD 1945.
"Artinya, kehidupan bangsa yang cerdas adalah kehidupan yang diisi dengan keimanan, ketaqwaan dan berakhlak mulia. Pasti tidak bisa lepas dari nilai agama dan inilah yang dibiayai minimal 20 persen APBN setiap tahun," ujarnya dalam keterangan tertulis kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (21/5).
Agama, Irman sambung, juga butuh negara untuk sebuah proses pelembagaan kembali oleh Negara, dan begitu pula sebaliknya. Negara butuh ukuran-ukuran peradaban masyarakat untuk kemudian dilembagakan dalam bentuk undang-undang yang salah satu sumbernya adalah nilai agama seperti yang tertuang dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
"Alasan Negara yang mungkin bisa kita baca bahwa ada kebutuhan agar ada nilai kebangsaan yang bisa diikutkan dalam setiap konten ceramah. Ini yang mungkin dirasakan kebutuhan riil negara terhadap seluruh mubalig," ujarnya.
Di sisi lain cara negara menjadikan 200 nama mubalig menjadi rujukan bukanlah langkah yang tepat. Ia menjelaskan tidak ada dasar bagi negara untuk mengatakan para mubaligh yang diumumkan berilmu paling tinggi sehingga masuk dalam rujukan.
Pemerintah tidak di desain untuk menilai siapa saja warga yang paling mumpuni dalam suatu bidang keilmuan bahkan dalam ilmu ketatanegaraan sekalipun. Pemerintah tidak lebih mumpuni dari yang lainnya, apalagi dalam ilmu agama.
Oleh karenanya, alasan yang paling bijaksana adalah negara butuh pertolongan sosialisasi nilai kebangsaan yang dibutuhkan melalui tausiyah-tausiyah dari para mubalig.
Namun bukan pemerintah yang merekomendasi 200 mubalig melainkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena MUI dihadirkan sebagai penghubung antara ulama dan pemerintah. Hal inilah merupakan mekanisme cara ketatanegaraan yang baik dan benar.
"Biarkanlah MUI yang mengkomunikasikan hal tersebut kepada para ulama, umaro (pemerintah) dan masyarakat dan bagaimana cara terbaik pelaksanaannya. Termasuk didalamnya nilai kebangsaan yang dikehendaki pemerintah," tutup Irman.
- Nasdem Tidak Keberatan Jika Jokowi Pilih JK
- Penegakan Hukum Atas Kejahatan Lingkungan Sulit Dilakukan dengan Pendekatan Normatif
- KPU Solo Selesai Lakukan Perakitan Kotak Suara Pilwalkot