Keroncong Berjiwa Bebas

Sejak dibentuk pada 17 Mei 1983, tak terasa kelompok musik asal Semarang ini telah menjajaki blantika musik hingga usia 35 tahun. Namun demikian, bukan perjalanan yang mulus tembus dari tahun ke tahun dilalui oleh kelompok musik Keroncong Remaja 17 itu.


Dulu namanya, Keroncong Remaja 17. Dibentuk atas dasar kecintaan terhadap musik keroncong oleh lingkaran mahasiswa Universitas 17 Agustus, Semarang. Belakangan, nama itu berubah menjadi Congrock 17.

Salah satu pentolan Congrock 17, Marco Marnadi, saat ditemui RMOL Jateng, mengatakan personel awal Congrock 17 adalah alm Suluh (flute), alm Bogie (gitar), Yanto (melodi), Hary Joko (celo), Ricky (banjo), Bismo (cak), Widowati (vokal), Hendra (Vokal), dan Marco (vokal).

Kemudian, kami nambah personel Pamuji (bas) dan Yono (Cuk). Sekitar tahun 1984, masuklah Budi (biola) Kemudian tahun berikutnya Anang (bass), Ninik (biola), serta Rifai (flute)," kata dia saat ditemui.

Marco menceritakan, musik yang dibawakan oleh Congrock 17 adalah musik keroncong yang dibalut dengan berbagai macam genre. Jadi, lanjutnya, musik tersebut terdengar lebih rampak sekaligus mendayu.

Kami padukan bermacam-macam, mulai dari jazz, rock, country, dan yang lainnya. Itu adalah kesadaran kami saat mengaransemen musik. Sehingga saat itu, musik keroncong kami terdengar berbeda," jelasnya.

Marco melanjutkan, setelah kiprah mereka di Semarang, nama Congrock 17 mulai membumbung. Kemudian, berbagai macam kesempatan untuk tampil. Hingga pada kisaran tahun 1986 Congrock 17 tampil dalam ajang Pentas Sejuta Bintang di GOR Jateng (kini Ciputra) bersama artis Jakarta.

Setelah itu, kami dapat kesempatan untuk manggung di banyak tempat. Kami berkenalan dengan artis dan musisi papan atas. Sampai kesempatan keliling eropa bersama Titiek Puspa," kenangnya.

Kendati demikian, Marco mengaku ada saja yang menuding bahwa kelompok musik yang digawanginya itu adalah perusak musik keroncong. Bagi dia, hal itu cukup lumrah. Namun, saat Congrock gagal pentas pada acara bergengsi di TVRI bertajuk ‘Aneka Ria’, muncul sedikit kekecewaan.

Sejak saat itu, Marco membangun misi baru, yakni supaya musik keroncong memiliki peminat dari kalangan muda. Bagi dia, bikan hal mudah, musti bekerja lebih keras lagi saat mengaransemen musik sehingga bisa terdengar lebih nyaman di telingan anak muda, namun tidak kehilangan esensi keroncong.

Kami beranggapan bahwa keroncong harus tetap lestari. Oleh karena itu, kami upayakan bagaimanapun caranya. Dan kami berhasil," tegasnya.

Marco mengatakan, hingga kini, apa yang dia upayakan berujung manis. Saat ini, lanjutnya, banyak anak muda yang tertarik pada musik keroncong. Tentunya, lanjut dia, mereka membawakan ala Congrock. "Jadi semacam genre baru, musik Congrock. Musik keroncong yang rampak,"imbuhnya.

Menurut Marco, musik Congrock adalah musik keroncong yang bebas. Bagi dia, bukan soal pilihan jenis musik. Namun, lebih kepada kreativitas dalam mengolah musik keroncong dibalut idiom lain.

Hingga kini, sedikitnya Congrock 17 telah menelurkan enam album karya mereka. Marco mengungkapkan, hal itu sungguh perjalanan yang menyenangkan. Meski berat, namun dia merasa bahwa musik keroncong dapat terus lestari. Yang penting ruh nya keroncong. Bisa digunakan sebebas mungkin," pungkasnya.