Menyemai Benih Toleransi dan Merawat Kebhinekaan Indonesia Lewat Sekolah Damai

Kegiatan fieldtrip ke vihara Watugong yang digelar Program Sekolah Damai. / dok. Pokja Sekolah Damai
Kegiatan fieldtrip ke vihara Watugong yang digelar Program Sekolah Damai. / dok. Pokja Sekolah Damai

Siti Rofiah, mengaku bagai berkejaran dengan waktu. Saat satu kasus intoleransi belum lagi usai ditangani, kasus lainnya sudah bermunculan di tempat lain.


‘’Kalau tidak cepat bertindak, kasus-kasus intoleransi dengan cepat menyebar dan sulit diatasi. Kita seperti berkejaran dengan waktu, jika tidak cepat diatasi dan diredam, kasus-kasus intoleransi akan menjadi bom waktu yang siap meledak setiap saat,’’ ungkap peneliti Yayasan Pemberdayaan Komunitas eLSA (Lembaga Sosial dan Agama) Semarang, kepada RMOL Jateng, Senin (9/8).

Rofi, panggilan akrab Siti Rofiah menuturkan, kasus-kasus intoleransi di lembaga pendidikan (sekolah) perlu menjadi perhatian bersama. Selama 10 tahun terakhir, eLSA memantau isu intoleransi di sekolah. Hasilnya, terjadi kasus diskriminasi dan intoleransi terjadi di lingkungan pendidikan. Pelakunya, guru agama dan siswa.

Program Sekolah Damai

Untuk mencegah terjadinya kasus-kasus intoleransi di sekolah, The Wahid Foundation bersama eLSA menggagas Program Sekolah Damai. Di Jawa Tengah, kata Rofi, program ini sudah diluncurkan sejak September 2017. 

 ‘’Tahap awal, kami menggandeng asosiasi guru pendidikan agama Islam (PAI) menggelar kegiatan peningkatan kapasitas guru. Sebanyak 30 guru agama dan kepala sekolah dari 15 sekolah  di Kota Semarang dan Kendal diundang mengikuti workshop dan fieldtrip ke tempat ibadah lintas agama,’’ ujar Rofi, yang menjadi anggota Pokja Sekolah Damai Jawa Tengah.

Saat itu lokasi fieldtrip ke Gereja St Theresia Bongsari, Sanggar Kepercayaan Sapto Darmo, dan Klenteng Tay Kak Sie Semarang. 

Dari hasil evaluasi kegiatan itu, terpilih 5 sekolah percontohan Sekolah Damai, yakni SMAN 7, SMAN 10, SMAN 13, SMAN 11 di Kota Semarang dan SMAN 1 Cepiring Kendal. 

Sejak 2018, Program Sekolah Damai itu resmi diberlakukan, kegiatannya, antara lain menggelar workshop tentang pemahaman toleransi kepada guru agama Islam dan pengurus Rohani Islam (Rohis). 

Beragam kegiatan digelar, yakni kemah lintas agama dan mengunjungi tempat ibadah. 

Tiga indikator evaluasi program, yakni praktik toleransi, pengelolaan organisasi kesiswaan, dan kebijakan sekolah. 

Yang menarik, program ini mendapat dukungan sangat antusias dari SMAN 1 Cepiring Kendal. Di sekolah ini, sekolah damai bahkan telah dimasukkan ke dalam visi sekolah tersebut.

‘’Siswa di sekolah ini mayoritas muslim. Agar tak jadi slogan belaka, sejak 2019, kami masukkan menjadi visi sekolah,’’ kata Siswanto, kepala SMAN 1 Cepiring, kepada RMOL Jateng.

Visi itu, kata Siswanto, kemudian dituangkan ke dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Bukan hanya untuk mapel Agama Islam saja, melainkan seluruh mapel.

 ‘’Meskipun mayoritas siswa kami adalah muslim, tapi kami tidak mewajibkan siswa berhijab. Semua kegiatan agama diperlakukan sama, tanpa diskriminasi,’’ ungkapnya.

Menurut Rofi, Ikhtiar litigasi toleransi harus diperjuangkan bersama. 

‘’Modal dasar toleransi adalah kesadaran menerima perbedaan,’’ tegasnya.

Pada 22 Juni 2021 lalu, Pokja Sekolah Damai mengajukan rekomendasi Sekolah Pro-Toleransi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

Peradaban Inklusif

Ketua FKUB Jateng KH Taslim Syahlan mengatakan, sekolah damai merupakan gagasan besar untuk menyemai benih toleransi dan pendewasaan beragama di Indonesia. 

‘’Gagasan besar ini harus didukung demi terwujudnya peradaban inklusif  dan menjaga kebhinekaan di negeri ini,’’ ujarnya.

Sekolah damai, kata Taslim, harus didukung untuk meredam sedini mungkin berkembangnya bibit intoleransi dan radikalisme pada anak.