Kisah Dibalik Tiga Makam Di Pertigaan Baluwarti Solo

Fenomena keberadaan tiga makam bayi yang berada tepat di tengah  pertigaan jalan kamping Gabudan, RT 03 RW 02 Kelurahan Baluwarti, Solo belakangan baru dikenal masyarakat luas.


Makam ini berada di wilayah Keraton Solo dan diperkirakan usianya sudah ratusan tahun. Saat ini tiga makam tersebut sudah diberi tanda berupa bangunan berbentuk kotak kecil memanjang berjejer tiga.

Informasi dari warga sekitar konon ketiga bayi tersebut merupakan korban yang 'kenter' (hanyut) saat banjir melanda wilayah Keraton Solo kala itu.

Saat ditemukan, tiga jenazah bayi tersebut ditemukan oleh warga sekitar, untuk kemudian dimakamkan dengan diberi 'tetenger' atau dinamakan yakni Anggoro Kasih, Den Bagus Kintir dan Mbok Roro Setu.

Informasi yang diperoleh RMOLJateng dari Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari Koes Moertijah, putri dari PB XII dari Keraton Solo, menyebut keberadaan makam itu memang sudah lama ada.

"Saya pernah mendengar cerita itu, katannya ada anak kecil (bayi) yang kalap (tenggelam) kemudian dimakamkan di situ," jelasnya Kamis (9/7).

Gusti Wandansari juga menjelaskan disekitar itu ada namanya kali larangan (sungai terlarang) dan alirannya ada yang masuk ke wilayah Keraton Solo. Sungai atau kali larangan itu berasal dari mata air Cokrotulung yang sengaja dibuat aliran sungai yang kala itu juga dilengkapi dengan pintu air.

"Jadi saat pintu air dibuka, digunakan untuk membersihkan halaman Keraton Solo agar tidak berdebu," lanjutnya. 

Gusti Wandansari juga mengetahui jika keberadaan makam tersebut tidak bisa dipindahkan ke lokasi lainnya. Menurutnya hal itu wajar saja, karena keberadaan tiga makam itu sudah ada jauh sebelum perkampungan itu berdiri.

"Kenapa tidak bisa dipindah karena makamnya sama pemukiman duluan makamnya. Di Baluwarti juga ada makam Ki gede Solo, tidak masalah," imbuhnya.

Sementara itu Sulatri (70) warga yang rumahnya berada di samping makam menyebut, cerita turun temurun dari sang ayah yang bernama Sucitro, makam tersebut memang tidak mau dipindahkan.

"Dulu pernah ada rencana akan memindahkannya namun batal karena dapat 'sasmita' (pesan) agar tetap di situ," paparnya.

Justru Sucitro, ayah Sulastri mendapatkan pesan agar tiga makam itu dibangun dan diberi tanda. Awalnya masih berupa tanah dan seringkali diinjak oleh pejalan kaki. Kemudian ada sasmita (pertanda) dalam bentuk suara yang meminta agar di dibangun dan diberi tanda.

"Omahku kok diidak-idak wong. Omahku ki mulyakno. (Rumahku diijak-injak. Tolong ya dirawat) " jelas Sulatri menirukan cerita ayahnya kala itu.

Sulastri juga mengatakan banyak warga luar jika melewati kawasan tersebut merasa ketakutan. Pasalnya mereka seringkali melihat penampakan sosok tinggi, hitam dan besar. Namun berbeda, warga sekitar yang sudah puluhan tahun tinggal di sekitar lokasi belum pernah sekalipun melihat sosoknya.

"Banyak yang takut lewat sini, katanya sering ada penampakan, anehnya justru sama  warga sekitar nggak pernah ngetoki. Bahkan kalau sore hingga malam banyak anak-anak kecil di sini ya ndak apa-apa," pungkasnya.