Kisah Perajin Batik Tulis Pekalongan yang Bertahan di Tengah Gempuran Zaman

Berawal dari mengikuti sang ayah berdagang batik lawasan (bekas) pada 1970-an, Mustar Sidiq kini jadi seorang pengusaha batik tulis. Mendirikan bengkel batik Alvien Alfan di Jl Ahmad Dahlan, Tirto, Pekalongan Barat, Kota Pekalongan, ia memproduksi batik tulis yang masih memegang erat pakem.


"Pengetahuan saya tentang batik karena sering ikut ayah jual batik lawasan. Dari situ, saya mulai paham pakem-pakem batik," katanya di bengkel batiknya, Sabtu (14/5).

Ayah tiga anak itu tidak serta Merta menjadi pengusaha batik. Bahkan, sempat pada satu momen, ia merasa berdosa karena berdagang batik.

Mustar bercerita mulai bersinggungan dengan dunia batik pada 1997. Ia waktu itu menjelajahi bisni  garmen dengan menerima.pesanan jahitan.

Lalu, 1997- 1999, Sidiq berjualan  daster hingga 2003. Lalu, pada 2004, dosanya pada warisan budaya itu terjadi. Waktu itu, ia berjualan batik lawasan, seperti ayahnya, dan menjualnya ke luar negeri.

"Waktu itu banyak  permintaan dari Australia, Malaysia, Singapura. Sampai instruksi SBY, pada 2006 tiap daerah harus punya motif batik. Batik mulai booming, tapi saya tetap jualan batik lawas," jelasnya.

Omzet penjualannya setelah batik diberi gelar warisan budaya tak benda pada 2009, pun meroket. Pada 2010-2011, omzetnya per malam mencapai Rp 30 juta.

"Saya  btinggalkan produksi saya dua tahun. Dulu saya masih produksi daster dan beberapa batik," jelas pria yang kini juga seorang kontraktor proyek itu.

Pada 2011, ia mulai menyadari dosanya pada batik. Saat itu, ia membeli batik lawasan dengan harga serendah mungkin dan menjualnya selangit.

Ia mencontohkan bisa membeli batik lawas dari seseorang Rp 100 ribu, lalu menjualnya hingga Rp 5 juta. Memanfaatkan ketidaktahuan penjual batik lawasan tentang batik.

"Pada 2012, saya ubah konsep berjualan saya. Misla saya beli batik lawasan Rp 500 ribu kemudian saya jual. Saya akan bilang apa adanya ke pembeli, saya mau diberi untung berapa," ucapnya.

Mustar Sidiq pun sempat mengalami kebangkrutan karena wabah antrax. Usaha ekspor batiknya ditolak masuk ke Thailand. 

Pada tahun itu juga, ia mulai konsen memproduksi batik tulis budaya yang berpegangan pada pakem. Hingga akhirnya, ia menjadi trainer pelatih batik budaya di beberapa daerah.

"Saya tidak hanya mengajari memproduksi batik hingga cara menjual. Tapi juga mendampingi perajin batik hingga mereka bisa mandiri," katanya.

Diakuinya, bisnis batik tulis saat ini sudah berbeda. Dulu, berjualan satu kain batik tulis bisa untuk hidup seminggu. Sekarang belum tentu. Apalagi ditambah adanya pandemi Covid-19.

Mustar Sidiq pun kini tetap mempertahankan produksi batik tulisnya. Tapi, diakuinya, produksi batik tulisnya hanya 'sak titahe'. 

"Kini semua sudah serba digital. Harus instragamable. Otak saya sudah tidak nyandak, mungkin nanti anak saya yang bisa meneruskan sesuai zamannya," ucapnya.

Berawal dari Batik pun, kini, ia juga mengembangkan usahanya di berbagai bidang. Ia kini punya lahan pertanian, peternakan hingga konstruksi.

"Semua berawal dari batik," tutupnya.