Viral di media sosial akan adanya bongpay atau nisan makam leluhur warga Tionghoa di kelurahan Jomblang, Kota Semarang. Di media sosial tersebut Bongpay diperlihatkan jadi tutup selokan membuat pihak kelurahan bergerak cepat dengan membongkarnya.
- Jumat Agung, Umat Katolik Blora Gelar Visualisasi Jalan Salib
- Diskusi Budaya, Kunci Terbukanya Ruang Ekspresi Seniman Batang
- Lenggak-Lenggok Emansipasi, Ketika Tari Menjadi Bahasa Perjuangan Perempuan
Baca Juga
Lurah Jomblang, Henry Nur Cahyo, mengatakan pihaknya telah membongkar bongpay yang menjadi tutup selokan itu.
Henry mengklarifikasi bahwa bongpay memang banyak ditemukan di wilayahnya sejak 1970. Namun, warga setempat tidak tahu menahu akan kesakralan benda tersebut karena sudah keberadaannya sudah ada sejak dulu.
"Kita menghormati. Kita mengambil langkah tindakan komunikasi ke warga dan warga bisa menerima, maka kita bongkar. Salurannya kita betulkan,” kata Henry saat ditemui di kantornya Jumat (15/03) sore
Oleh karena itu Henry mengaku mengadakan edukasi dan sosialiasi secara bertahap kepada warga Kelurahan Jomblang. Apabila di rumah mereka terdapat bongpay, maka warga diharapkan segera melaporkan ke pihak kelurahan
Viralnya beberapa bongpay atau batu nisan khas Tionghoa menjadi tutup selokan di kelurahan Jomblang membuat tokoh masyarakat Tionghoa Kota Semarang merasa prihatin.
Keprihatinan itu diungkapkan Irwan Leokita W Karunia yang mengaku merasa prihatin dan menyayangkan melihat benda penghormatan terhadap leluhur beralih fungsi dan cenderung disalahgunakan untuk tutup got (selokan) dan lain sebagainya
"Kami prihatin ya dengan bongpay atau (batu) nisan yang tidak terawat baik. Malah cenderung disalahgunakan dan beralih fungsi. Bongpay sejatinya adalah benda penghormatan terhadap leluhur," jelas Irwan saat ditemui RMOLJateng, hari Sabtu (16/03) ini.
Menurut Irwan, yang juga menjabat Wakil Ketua Forum Komunikasi Organisasi Masyarakat (Forkommas) Republik Indonesia menilai bahwa dengan kondisi tersebut diharapkan Pemerintah dapat merujuk pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dapat dijadikan dasar melakukan inventarisasi dan menyelamatkan keberadaan bongpay
"Kami ingin Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 dapat digunakan sebagai dasar untuk menginventaris dan menyelamatkan keberadaan bongpay," harapnya.
Keprihatinan juga disampaikan salah satu masyarakat pemerhati sosial, F Tika Mantovani, yang menyayangkan benda cagar budaya yang memiliki sejarah panjang peradaban manusia, khususnya di Kota Semarang, dipakai untuk menutup selokan (got) dan tidak dirawat.
"Kalau saya pribadi menanggapi dari sisi historical (sejarah), di dalam batu nisan situ 'kan memang ada sejarah ya. Bahkan mungkin ratusan tahun lalu. Sayang kalau ada pembongkaran. Tiba-tiba ada berita kita menemukan beberapa nisan itu dipakai untuk menutup selokan (got). Saya rasa itu tidak etis. Apalagi dengan adanya sejarah yang tertulis di situ, pastinya itu salah satu cagar budaya," ungkapnya.
Oleh sebab itu, lanjut Tika, jika nantinya batu nisan itu tidak terpakai lagi, maka semua bisa dikumpulkan dalam sebuah tempat penampungan tertentu, agar nilai manfaatnya masih bisa dirasakan oleh masyarakat Kota Semarang khususnya.
Selain itu tindakan tersebut juga sebagai upaya untuk memberikan penghormatan kepada leluhur orang-orang Tionghoa, sehingga kondisi masyarakat lebih harmonis dalam memaknai nilai-nilai budaya yang berbhineka tunggal ika.
"Kita perlu untuk lebih toleran sebagai masyarakat dengan agama dan budaya yang berbhineka tunggal ika. Seharusnya, layaknya makam, perlu dihormati. Hal ini juga bisa dipertimbangkan dalam hal tata kota. Membangun kota juga perlu memikirkan aspek kultural dan aspek desain yang harmonis," tegasnya.
Tenaga Ahli Wali Kota Semarang Bidang Sosial Budaya, Immanuel Adhi Siswanto Wisnu Nugroho, menilai bahwa bongpay atau batu nisan leluhur Tionghoa atau Cina di Indonesia itu merupakan bagian dari warisan kebudayaan Kota Semarang yang perlu dilestarikan.
Faktanya warga Kota Semarang berasal dari berbagai keturunan dan berbagai budaya, sehingga keberadaan bongpay itu dapat dijadikan sebagai sebuah catatan sejarah yang dapat diinvestasikan dan diarsipkan dalam sebuah museum. Tindakan seperti itu akan merupakan bentuk penghargaan kepada nilai-nilai budaya yang ada di Kota Semarang.
"Karena Semarang ini identik dengan budaya Jawa, budaya Cina dan budaya Arab. Nah, pemilik kebudayaan itu ingin agar peninggalan leluhur itu bisa diarsipkan sehingga (semua-red) dapat mengerti bagaimana sejarahnya. Tapi yang jelas, itu menjadi aset budaya yang besar Kota Semarang dan perlu dilestarikan sebagai bentuk penghargaan terhadap nilai-nilai budaya," terangnya.
Dikatakan pula oleh Adhi Siswanto, pihaknya sangat mengapresiasi jika ada suatu organisasi yang mau peduli dan perhatian terhadap keberadaan bongpay. Terutama yang sudah beralih fungsi, dan mendadak menjadi tutup selokan dan lain-lain. Akan sangat baik apalagi pihak tersebut mau juga memberikan penggantian kepada masyarakat terkait alih fungsi tersebut.
"Kami menilai ini patut kita dukung dan kita memberikan masukan kepada Wali Kota Semarang, agar kajian ini beliau memperhatikan. Karena (hal ini-red) merupakan program yang baik, sebagai bentuk penghargaan terhadap suatu nilai-nilai budaya yang perlu dilestarikan," tegasnya.
Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Jawa Tengah, Bambang Wuragil, menanggapi keprihatinan masyarakat, akan mengusulkan kepada Pemerintah Kota Semarang untuk nantinya agar membuat museum peninggalan sejarah Tionghoa. Selain bisa menjadi tempat kunjungan wisata atau tempat edukasi tentang sejarah Kota Semarang.
"Ini kalau bisa. Pemerintah Kota Semarang bisa mendirikan museum. Sehingga bisa jadi tempat pariwisata. Semarang bisa banyak dikunjungi. Itu jadi bisa bermanfaat kalau bongpay itu kita kumpulkan. Kita nanti akan surati Pemkot lagi, lalu kita bisa mengadakan seminar, supaya pemanfaatannya bisa lebih baik lagi," urainya di depan Balai Kelurahan Jomblang, Kecamatan Candisari, Kota Semarang.
- Potensi Besar Belum Maksimal, DPRD Jateng Saran Terus Kuatkan Pertanian Kepada Pemprov
- Gubernur Jateng Ahmad Luthfi Tunggu Peran Anak-anak Muda Kelola Pertanian Kreatif
- Wacana Pemekaran Wilayah, DPRD Jateng Belum Buat Bahasan