Korea Utara mengalami krisis yang semakin mengkhawatirkan di tengah
pandemi yang membuat diplomat asing berbondong-bondong meninggalkan
negara itu.
- Ini Arti Lain Asian Games 2018 Bagi Korea Utara
- AS Dinilai Gagal Atasi Pandemi dan Jadikan Beijing Kambing Hitam
- Ratu Elizabeth II Kirim Ucapan Selamat Atas 73 Tahun Berdirinya Korea Utara
Baca Juga
Korea Utara mengalami krisis yang semakin mengkhawatirkan di tengah pandemi yang membuat diplomat asing berbondong-bondong meninggalkan negara itu.
Staf kedutaan Rusia di Pyongyang menceritakan 'kondisi tak tertahan' di ibukota Korea Utara akibat kurangnya pasokan barang-barang penting seperti obat-obatan, makanan, dan pelayanan medis, dikutip dari Kantor Berita RMOL.
Dalam postingan di Facebook, ia mengatakan hampir semua orang tidak tahan dengan pembatasan total yang diberlakukan di negara itu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Sangat mungkin untuk memahami mereka yang meninggalkan ibukota Korea Utara. Hampir semua orang tidak tahan dengan pembatasan total yang belum pernah terjadi sebelumnya pada individu," katanya, seperti dikutip dari The Guardian, Kamis (1/4).
Korea Utara telah memberlakukan pembatasan pandemi yang terlalu ketat. Penutupan perbatasan, pelarangan sebagian besar perjalanan internasional, dan membatasi pergerakan di dalam negeri, yang semuanya itu telah benar-benar melumpuhkan berbagai sektor, termasuk tidak tersedianya obat-obatan dan makanan, serta kebutuhan penting lainnya.
"Hampir tidak ada diplomat yang tersisa di Pyongyang," katanya.
Inggris, Brasil, Jerman dan beberapa negara lain telah mengunci gerbang misi mereka di Pyongyang, sementara semua staf asing di organisasi kemanusiaan internasional telah pergi, katanya, seperti dikutip dari Reuters.
Pada bulan Februari, para diplomat Rusia dan anggota keluarga mereka dipaksa untuk menaiki troli rel yang didorong tangan melintasi perbatasan setelah menghabiskan lebih dari 30 jam di atas kereta dari Pyongyang ke perbatasan.
Perbatasan Korea Utara pada dasarnya telah ditutup sejak Januari lalu di tempat yang mungkin merupakan karantina Covid-19 paling parah di dunia.
Para pengamat mengatakan tindakan tersebut telah memungkinkan pemerintah untuk meningkatkan kendali atas kehidupan sehari-hari ke tingkat yang mirip dengan tahun-tahun kelaparan di tahun 1990-an.
Seorang peneliti senior di Korea Utara untuk Human Rights Watch, Lina Yoon, mengatakan pada bulan lalu bahwa dia telah diberitahu tentang kekurangan makanan, sabun, pasta gigi dan baterai.
Perdagangan Korea Utara dengan China telah turun sekitar 80 persen, dengan impor makanan dan obat-obatan turun mendekati nol. Pemerintah Korea Utara mengklaim bahwa perdagangan, bersama dengan 'debu kuning' yang bertiup di perbatasan dari China, dapat menyebabkan penyebaran virus Corona.
Bencana banjir besar juga telah merusak produksi pertanian, memperburuk kekurangan pangan di negara itu.
Yoon membandingkan 'tindakan ekstrim' yang baru-baru ini diberlakukan di tengah pandemi dengan 'kontrol ultra-ketat' dalam beberapa dekade terakhir, di mana di masa lalu pemerintah mengontrol semua informasi dan distribusi makanan dan bahan, sambil melarang aktivitas 'pasar bebas'. Kondisi ini menyebabkan kelaparan massal pada 1990-an setelah Uni Soviet runtuh, dan persediaan makanan gagal.
Korea Utara telah melaporkan tidak ada kasus virus corona di negara tersebut, tetapi para pengamat meyakini kemungkinan ada wabah di tentara dan di kota-kota perbatasan yang kemudian dikarantina oleh pemerintah.
Korea Utara akan menerima 1,7 juta dosis vaksin Oxford / AstraZeneca sebagai bagian dari program Covax Organisasi Kesehatan Dunia.
Yoon telah meminta pemerintahan Biden dan pemerintah asing lainnya untuk memberikan prioritas pada upaya bantuan ke Korea Utara, daripada berfokus pada negosiasi program senjata nuklirnya. Bulan lalu negara itu melanjutkan pengujian rudal jelajah dan rudal balistik jarak pendek .
"Sangat penting bagi dunia untuk mengingat rakyat Korea Utara, bukan hanya senjata nuklirnya," tulisnya.
**
- Militer Afghanistan Rebut Kembali Tiga Distrik yang Dikuasai Taliban
- Presiden Rusia Vladimir Putin Tepis Tudingan Peristiwa Bucha
- Presiden Korea Selatan Sampaikan Minta Maaf Terkait Banjir