Sekarang ini, KPK sedang berjuang keras menolak rancangan KUHP yang sedang digodok pemerintah dan DPR. Namun, tak seperti biasanya, KPK kini sepi supporter. Kemana para pendukung KPK?
- Rocket Chicken Wonogiri Dibobol Maling
- Dua SMK Negeri Terlibat Tawuran di Mugas Semarang
- Kasus Suap Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, Pejabat Hingga Lurah Dapat Giliran Dipanggil KPK
Baca Juga
Agar penolakannya terkabul, KPK sudah 5 kali kirim surat ke Presiden Jokowi: 14 Desember 2016, 4 Januari 2017, 13 Januari 2017, 24 Mei 2017 dan 13 Februari 2018. Komisi antirasuah yang dipimpin Agus Rahardjo itu meminta Jokowi mengeluarkan delik korupsi dari RUU KUHP. Masuknya delik tersebut dinilai akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi, termasuk kelembagaan KPK.
Menyikapi langkah KPK menyurati presiden. Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan komentar. Menurutnya, RUU KUHP bukanlah kewenangan Presiden. "Itu kewenangan DPR-lah. Bukan Presiden lagi," kata JK usai berbuka puasa di rumah Chairman Trans Corp, Chairul Tanjung, di Jl Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, kemarin. Menurut JK, wewenang RUU KUHP bukan di Jokowi karena itu tugas parlemen yang merumuskannya. Pembahasan juga di DPR.
Di lain pihak, tindakan KPK ini mendapat kritikan. Salah satunya dari pengamat hukum pidana, Umar Husin. Dia menilai tidak etis. Kesannya, KPK mengancam dan menyandera Presiden.
"Sikap KPK yang menolak, ini bentuk pembangkangan pada birokrasi, pada Presiden. Ada kesan mengancam di sini, kirim surat minta Presiden intervensi tetap pada format sekarang. Ini tidak betul, Presiden tidak boleh diancam," kritik Umar dalam diskusi 'Berebut Pasal Korupsi' di kawasan Menteng, kemarin. Dikhawatirkan, institusi lain bakal melakukan tindakan yang sama seperti KPK. "Anda bayangkan," selorohnya.
Jika nantinya RUU KUHP disahkan, KPK tidak bisa lagi berpegangan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). KPK harus mematuhi KUHP sebagai Undang-Undang induknya. "Kalau semau-maunya sendiri, rusak. Semua harus tunduk pada undang-undang induk," tegas Umar. "Saya dukung penuh ke DPR rampungkan. Ini tugas suci besar," imbuhnya.
Senada, advokat Maqdir Ismail juga menilai sikap KPK menolak revisi RUU KUHP sebagai tindakan makar. "Teman-teman pers harus ingatkan, nggak bisa terus menerus KPK dapat keistimewaan," ujar Maqdir di tempat yang sama. "Seolah-olah KPK negara dalam negara. Mereka bagian dari negara penegak hukum, polisi jaksa," katanya.
Maqdir menuding KPK punya ambisi ingin menjadi lembaga permanen. Padahal, KPK dibentuk sebagai lembaga adhoc yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan. Soalnya, menurut dia, pemberantasan korupsi tak akan terpengaruh dengan KUHP baru nantinya. "Kenapa khawatir? Seolah-olah pemberantasan korupsi berhenti. Nggak ada masalah. Kalau lembaga tetap ada tetap jalan," ucapnya.
Tindakan KPK yang mengirim surat 5 kali kepada Presiden itu juga dikritik anggota Panja RUU KUHP Taufiqulhadi. Taufiqul mengingatkan KPK bukan pembuat undang-undang, tetapi pelaksana undang-undang. "Kalau mereka tidak setuju, ya keluar dari KPK, bukan mempengaruhi Presiden. Jangan kemudian mengirim surat, melakukan tekanan, itu menurut saya tidak etis. Saya menyerukan berhenti melakukan tekanan," tegas Taufiqul.
Dia menyebut, KPK bersikap aneh. Saat melakukan pembahasan, Panja telah meminta masukan dari pemerintah dan semua instansi terkait, termasuk KPK. Tetapi, KPK tak mau hadir. "Kejaksaan, BNPT, BNN. Semua hadir. Yang tidak mau hadir itu KPK. Kemudian sekarang mereka persoalkan hal seperti itu. Kalau dibiarkan, badan yang tidak punya etika seperti itu akan merusak persoalan legislasi," imbuh politikus Partai Nasdem ini.
Dia menegaskan, tidak ada maksud DPR untuk melemahkan wewenang KPK dengan revisi KUHP. Menurut dia, draf KUHP sudah ada 20-40 tahun lalu.
"Anggap upaya mengurangi wewenang KPK yang dilakukan DPR, persepsi salah. Jauh meleset. Ini belajar dari draf yang telah dibuat jauh sebelum muncul KPK," terangnya.
Koordinator Masyakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai, KPK kini tak lagi mendapat dukungan masyarakat seperti pada masa pimpinan-pemimpin sebelumnya. Bukan karena masyarakat yang apatis terhadap pemberantasan korupsi, melainkan lantaran sikap KPK sendiri.
"Persoalannya ada di KPK sendiri. Melakukan banyak OTT receh sampai masyarakat bosan dan tak tertarik lagi. Tetapi, di sisi lain KPK juga tak menuntaskan kasus-kasus besar, seperti yang dijanjikan komisionernya di awal menjabat. Salah satunya ya Century," ujarnya, tadi malam.
"Ini membuat KPK kehilangan banyak suporter, masyarakat agak malas mendukung KPK secara penuh," imbuhnya.
Boyamin yakin, jika KPK melaksanakan komitmennya menuntaskan kasus-kasus besar, maka dukungan masyarakat akan kembali deras. "Misalkan tersangkakan Boediono cs sesuai perintah pengadilan, itu menunjukkan keberanian KPK. Masyarakat pasti akan mendukung kembali. Dulu masyarakat dukung tanpa syarat. Sekarang harus ada imbal balik," tuturnya.
Sementara, Jubir KPK Febri Diansyah menyatakan pendapat para pakar hukum bahwa komisinya melakukan makar tidak substansial. Menurutnya, KPK menyurati Presiden Jokowi agar dipahami risiko pelemahan terhadap pemberantasan korupsi, jika RUU KUHP seperti sekarang dipaksakan pengesahannya.
KPK menilai, masuknya pasal tindak pidana korupsi dari RUU KUHP akan melemahkan pemberantasan korupsi. "KPK percaya Presiden memiliki itikad baik mendukung pemberantasan korupsi, maka wajar jika Presiden perlu mengetahui apa pandangan KPK. Karena itulah surat tersebut dikirim," ungkapnya.
KPK ingin RUU KUHP tidak menjadi kado yang membahayakan pemberantasan korupsi atau bahkan bisa menguntungkan pelaku korupsi. "Tidak sulit bagi Presiden dan DPR mengeluarkan pasal-pasal Tipikor dari RUU KUHP tersebut. Selanjutnya dapat dibahas lebih lanjut melalui penyusunan revisi UU 31/1999 yang sekarang sedang berlaku," pungkasnya. ***
- Jenderal Andika Diharapkan Tuntaskan Kasus Penembakan Tiga Prajurit TNI
- Polda Jateng Temukan Dugaan Pelanggaran Sopir Truk
- Penanganan Kasus Pencabulan di Baturetno Terkendala Ujian Sekolah