Kualitas air tambak yang selalu terjaga menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam proses budidaya udang hingga mampu menurunkan biaya produksi.
- Ini Alasan Disdikbud Jateng Larang Studi Tur di Sekolah
- Rencana Bakal Diresmikan Pj Gubernur 28 Desember, Proyek SLB Lasem Dilembur Siang Malam
- Tak Ada Kepala Dapur, Program Prabowo di Wonogiri Masih 'Kabur'
Baca Juga
Peneliti Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Yustian Rovi Alfiansah mengatakan, pengaturan kualitas air tambak dan dinamika komunitas bakteri mampu menghindarkan kegagalan budidaya udang.
Selain itu, dapat menurunkan biaya produksi dan meminimalkan polusi yang disebabkan oleh buangan air tambak.
"Kami menginvestigasi kualitas air dan komunitas bakteri dari sampel air tambak pada dua sistem budidaya udang yaitu sistem semi intensif dan intensif. Pada kedua sistem ini, petambak tidak melakukan pergantian air tambak pada saat pemeliharaan udang berlangsung hingga akhir siklus panen," ujar Yustian, dalam siaran rilis yang diterima redaksi RMOL Jateng, Senin (6/7).
Dalam penelitian itu, lanjut dia, menemukan beragam bakteri heterotrofik halofilik (bakteri yang mampu hidup pada salinitas air laut) di air tambak. Ini merupakan bakteri menguntungkan dalam proses budidaya udang.
Yustian melakukan penelitian penelitian di Rembang, tercatat sebagai salah satu sentra penghasil udang di Provinsi Jawa Tengah.
Sedangkan, penyakit udang (berak putih) terjadi di kedua sistem, bersamaan dengan penurunan pH atau derajat keasaman dan perubahan komunitas bakteri yang dominan. Meski begitu, penyakit berak putih berhenti saat pH dinaikkan hingga ambang di atas delapan.
"Kami menyarankan untuk menambahkan kapur (misalnya kapur pertanian), membuang lumpur secara berkala ke petak/ kolam pengumpul lumpur dan menambahkan air laut yang telah diproses (diklorinasi) untuk menjaga kualitas air, khususnya pH dan salinitas. Kami juga menganjurkan penambahan molase (tetes tebu) ke tambak untuk meningkatkan keberadaan pakan alami dan untuk menjaga struktur komunitas bakteri yang menguntungkan," ungkap alumnus Universitas Diponegoro Semarang tersebut.
Yustian melanjutkan, budidaya udang seringkali menghadapi masalah terkait penurunan kualitas air dan penyakit, yang disebabkan oleh bakteri. Solusinya adalah petambak melakukan penggantian air tambak dengan air laut dan menambahkan probiotik secara rutin.
Di sisi lain, lanjut peneliti dari Rembang ini, usaha-usaha tersebut mengakibatkan biaya operasional yang tinggi.
"Pemerintah daerah hendaknya menyediakan insentif bagi usaha kecil dan menengah (UKM) misalnya dengan memberikan subsidi untuk listrik dan melakukan pengecekan kualitas air khususnya keberadaan patogen secara berkala," tutup peneliti LIPI yang sedang menempuh program postdoktoral di the Alfred Wegener Institute Bremerhaven di Jerman.
- Undip Serukan Evaluasi Menyeluruh Pasca Kematian Mahasiswi PPDS
- Fakultas Kedokteran UNS Wisuda 14 Dokter dari Enam Prodi Spesialis
- SD Muhammadiyah 1 Solo Bertransformasi Jadi Internasional Program School