- Merancang Bersama Materi Press Release Untuk Media Mesir
- Tujuh Bangsa Menjaga Damai Di Gurun Sinai
- Malam Di Pos Monyet: Menjaga Sunyi Di Tengah Sisa Perang
Baca Juga
Tulisan ini dimuat sebagai rangkaian tulisan dari naskah lengkap, yang kelak akan diterbitkan menjadi buku.
Sinai - Ada sisi lain dari diplomasi Indonesia yang sering luput dari perhatian publik. Bukan diplomasi lewat lobi atau pidato di forum internasional, melainkan lewat jejak kaki para penjaga perdamaian yang hadir di tanah konflik. Mereka datang bukan sebagai pasukan perang, melainkan sebagai duta harapan. Mereka adalah para anggota pasukan Garuda, mengenakan baret biru PBB, membawa nama Indonesia tanpa membawa ancaman.
Indonesia bukan negara adidaya. Kita tidak memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB, tidak punya pangkalan militer di luar negeri, dan tidak menjadi eksportir senjata. Tapi justru karena itu, kehadiran Indonesia dalam misi perdamaian internasional punya makna tersendiri: kehadiran yang murni, tanpa kepentingan tersembunyi.
Dalam puluhan misi perdamaian PBB, dari Kongo hingga Sinai, dari Lebanon hingga Sudan Selatan, Indonesia mengirimkan prajurit-prajurit terbaiknya. Mereka datang bukan untuk memenangkan peperangan, tetapi untuk menjaga ruang damai tetap terbuka. Untuk mendengarkan keluh kesah warga sipil. Untuk berdiri di antara dua pihak yang saling bermusuhan, dan tidak goyah meski terjepit.
Misi seperti ini tidak glamor. Tidak selalu disambut meriah. Bahkan, tidak jarang mereka hadir di tempat yang tak disebut dalam berita utama. Tapi justru dari tempat-tempat itulah diplomasi Indonesia berbicara dengan bahasa yang paling universal: kemanusiaan.
“Kami datang bukan dengan janji, tapi dengan ketulusan. Bukan untuk dilihat, tapi untuk menyaksikan,” demikian kenang seorang veteran Garuda VIII yang pernah bertugas di Gurun Sinai pada tahun 1978. Ia bersama puluhan prajurit lain, hidup di tengah ancaman ranjau, sengketa perbatasan, dan suhu ekstrem. Tapi mereka tidak mundur. Sebab di sanalah, martabat bangsa sedang diuji - bukan dengan senjata, tapi dengan kesabaran dan dedikasi.
Diplomasi Indonesia berangkat dari semangat untuk tidak menciptakan musuh baru. Dalam dunia yang penuh suara keras, Indonesia justru memilih langkah sunyi: menjadi penengah. Bukan netral karena takut, tapi netral karena sadar - membela perdamaian tidak memerlukan bendera, cukup hati yang tidak menyimpan dendam.
Tulisan Sudadi sebelumnya tentang Kontingen Perdamaian Garuda VIII dapat dibaca pada tautan berikut:
Tujuh Bangsa Menjaga Damai Di Gurun Sinai
Peran ini mungkin tidak sering tercatat dalam buku sejarah global. Tapi bagi mereka yang pernah menjalani tugas perdamaian, pengalaman itu membekas seumur hidup. Dibutuhkan keberanian besar untuk tidak memihak, untuk tetap berdiri tegak di tengah konflik, dan untuk menjaga netralitas tanpa kehilangan empati.
Inilah wajah diplomasi Indonesia: tidak keras, tapi tidak tergantikan. Tidak mencolok, tapi penuh makna. Ia hidup dalam langkah-langkah kaki yang menapaki tanah asing dengan tenang. Dan selama semangat itu terus dijaga, diplomasi Indonesia akan tetap menjadi harapan di tengah dunia yang penuh gejolak. (Bersambung)
*) Sudadi, Staf Khusus DPP LVRI, Veteran Kontingen Perdamaian Garuda VIII 1978
- Kapolrestabes Silaturahmi Dengan FKPM Da’i Kamtibmas, Perkuat Sinergi Untuk Semarang Kondusif
- TP PKK Batang Sosialisasikan Gemar Makan Ikan
- Dandim 0721/Blora: Ajak Insan Pers Sinergi Dan Dukung Publikasi Inbox