Malam Di Pos Monyet: Menjaga Sunyi Di Tengah Sisa Perang

Ilustrasi Artificial Intelligence Tentang Kontingen Indonesia Bertugas Di UNEF Mesir 1978 Melaksanakan Jaga Malam Di Pos Monyet. Istimewa
Ilustrasi Artificial Intelligence Tentang Kontingen Indonesia Bertugas Di UNEF Mesir 1978 Melaksanakan Jaga Malam Di Pos Monyet. Istimewa

Tulisan ini dimuat sebagai rangkaian tulisan dari naskah lengkap, yang kelak akan diterbitkan menjadi buku. 

Wadi Reina, Sinai - Malam datang pelan-pelan di gurun Sinai, membawa dingin yang menggigit sampai ke tulang. Langit di atas begitu jernih, bertabur bintang yang bersinar terang, seakan jadi satu-satunya penerang di tengah kegelapan tanpa lampu. Di bawah bentangan langit itu, seorang prajurit Indonesia berdiri sendiri, berjaga di sebuah pos kecil yang oleh rekan-rekannya dijuluki Pos Monyet.

Bukan nama resmi, tentu. Pos Monyet hanyalah istilah internal yang lahir dari humor khas para prajurit. Julukan itu merujuk pada pos jaga yang terletak paling ujung, jauh dari keramaian barak, dan dijaga sendirian. Tak ada teman bicara, tak ada hiburan. Hanya dirinya, senapan di tangan, dan malam yang terasa panjang sekali.

“Pos Monyet itu ujian mental,” ujar seorang anggota pasukan perdamaian Indonesia yang kala itu kebagian giliran jaga. “Jaraknya bisa ratusan meter dari barak utama. Kalau ada apa-apa, kita yang pertama tahu. Tapi juga bisa jadi yang terakhir mendapat bantuan.”

Sekeliling pos tampak tandus. Hamparan pasir luas menghampar tanpa batas, hanya diselingi siluet bangkai kendaraan lapis baja yang terbakar - sisa-sisa dari perang Mesir-Israel beberapa tahun silam. Tak ada yang memindahkannya. Tank dan truk yang hangus itu dibiarkan membeku di tempat, seperti monumen bisu yang tak pernah diresmikan.

“Setiap melihatnya, kita sadar: tempat ini pernah jadi medan perang. Panasnya belum hilang betul,” kenangnya.

Sesekali, lolongan anjing liar terdengar dari kejauhan, membelah senyap malam bersama desau angin yang membawa butir pasir beterbangan. Bukan gangguan yang nyata, tapi cukup membuat siapa pun tetap siaga. Waspada.

Di pos jaga seperti itu, rutinitas berubah jadi ritus. Tiap gerakan, tiap pandangan, jadi bagian dari tanggung jawab yang tak bisa dianggap remeh. Tak ada suara tembakan, tapi justru itulah yang membuat suasana tegang. Sunyi adalah medan yang tak kalah berbahaya.

“Kalau lengah, satu detik bisa fatal. Pos ini adalah garis depan. Jaga ini bukan formalitas, tapi inti dari perdamaian itu sendiri,” ucapnya.

Jam terasa lambat. Waktu seakan berjalan dalam diam. Mata prajurit harus terus awas, menyapu sekeliling, mencari gerak-gerik mencurigakan—atau sekadar membedakan antara bayangan dan kenyataan. Setiap detik menjadi ujian ketahanan.

“Malam di Sinai seperti tak punya ujung. Tapi di sanalah kami belajar memahami waktu. Bahwa damai bukanlah tanpa ancaman, tapi sesuatu yang harus dijaga. Dengan disiplin. Dengan tanggung jawab.”

Pukul dua dini hari. Besi penanda waktu digetarkan. Teng… Teng… Bunyi itu menjadi aba-aba: waktu jaga sudah selesai. Prajurit lain datang menggantikan.

Sunyi tak pernah benar-benar pergi dari pos monyet. Tapi dari tempat-tempat terpencil seperti itulah, misi perdamaian dijalankan. Dalam diam yang dijaga, dalam dingin yang ditanggung seorang diri - ada keteguhan yang tak terlihat, tapi nyata menopang arti kehadiran Pasukan Garuda di tanah jauh ini.

*) Sudadi, Staf Khusus DPP LVRI, Veteran Kontingen Perdamaian Garuda VIII 1978