Legislator: Kenaikan THR Dan Gaji Ke-13 Tak Bisa Dorong Daya Beli, Mending Cicil Utang

Pemerintah berencana menggelontorkan anggaran sebesar Rp 35,76 triliun atau naik 68,9 persen dibanding tahun sebelumnya untuk kenaikan tunjangan hari raya (THR), gaji ke-13 berikut dana pensiun bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN).


Anggota Komisi XI DPR, Heri Gunawan menekankan, kenaikan THR dan gaji ke-13 haruslah mampu dibarengi dengan peningkatan kualitas kinerja oleh ASN sendiri.

"Kalau tidak, maka sayang sekali anggaran sebesar itu tidak memberikan dampak berarti terhadap peningkatan kualitas kinerja," ujarnya saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Senin (28/5).

Peningkatan kinerja itu, menurut Heri, dapat diukur dari seberapa besar kementerian atau lembaga bisa mengefektifkan anggaran masing-masing dalam rangka mencapai target kerjanya masing-masing. Misalnya, kenaikan THR dan gaji ke-13 bisa menggenjot realisasi anggarannya sebuah kementerian.

Apalagi sepanjang kuartal I 2018, daya beli masyarakat bergerak stagnan. Hal tersebut kata dia, terlihat dari rata-rata konsumsi rumah tangga tahun ini yang hanya naik 4,95 persen. Angka ini lebih tinggi ketimbang kuartal I 2017 yang tumbuh 4,94 persen, tapi lebih rendah dari kuartal I 2016 yang naik 4,97 persen.

Selain konsumsi rumah tangga, data lainnya yang menjadi indikator daya beli masyarakat menurut Heri adalah nilai tukar petani (NTP). Dimana pada April 2018, NTP tercatat 101,6, turun 1,3 poin dari NTP per Januari 2018 sebesar 102,9.

"Dengan kata lain daya beli petani sejak awal tahun ini terus melorot," paparnya.

Lebih jauh lagi Heri menjabarkan, indeks keyakinan konsumen (IKK) juga turun dari 126,1 di Januari menjadi 122 di April 2018. Penurunan IKK ditengarai karena faktor ekspektasi kesempatan kerja turun, kebijakan pajak dan kenaikan harga energi.

"Kenaikan THR dan gaji ke-13 yang bersamaan di tahun ini harus mampu menjawab masalah turunnya daya beli itu.  Dengan begitu, kenaikan THR dan gaji ke-13 bukanlah kebijakan temporer tanpa guna, tapi bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi riil," ujar Heri, menekankan.

Selain itu yang tidak kalah penting, menurut dia, stabilisasi harga pada sebelum dan sesudah Lebaran. Sebab harga-harga barang, terutama bahan-bahan pokok pada saat itu biasanya mengalami kenaikan yang cukup tinggi.

"Jika kenaikan THR dan gaji ke-13 tak mampu mendorong kenaikan kinerja, daya beli masyarakat dan perekonomian riil, maka lebih baik uang sebanyak itu dibayar untuk mencicil utang yang sudah menembus angka lampu kuning sebesar Rp 4.180 triliun," tegas Heri.

Sebab kuat dugaan kebijakan ini sangat berbau populis demi mengejar popularitas di mata rakyat di tahun politik demi menyongsong Pilpres 2019.

"Sulit untuk melepaskan kebijakan ini dengan dugaan politik baik hati pemerintah Jokowi di tengah makin berkurangnya apresiasi rakyat terhadap beberapa kebijakan yang merugikan wong cilik seperti kenaikan BBM, langkanya BBM jenis premium, dan naiknya harga listrik," ujarnya.

Terpenting juga kata dia, jangan sampai kebijakan 'berbaik hati' itu memunculkan kecemburuan dari yang lain, termasuk tenaga dan guru honorer atau non PNS, yang diberikan untuk level dan golongan tertentu saja. "Jumlah tenaga kerja honorer ini tidak sedikit, guru honorer saja mencapai 155 ribu orang," pungkasnya.