Menyusuri Jalur Sutra Tiongkok-Uzbekistan-Indonesia

T. Hari Prihatono
T. Hari Prihatono

Tashkent - Jalur Sutra adalah proyek pembangunan infrastruktur China yang lebih dikenal sebagai Inisiatif Sabuk dan Jalan (belt and road initiative). Proyek ini bertujuan untuk mempermudah perdagangan antara China, negara-negara Asia, dan Afrika.

Proyek yang diinisiasi oleh Presiden China, Xi Jinping, ini menekankan pada pembangunan infrastruktur seperti pengaspalan jalan raya, pembangunan pelabuhan, dan penyediaan infrastruktur listrik dan telekomunikasi. Proyek ini diyakini akan berdampak besar bagi ekonomi negara-negara berkembang.

Jalur Sutra Baru adalah proyek yang memiliki ambisi besar yang potensinya untuk membentuk tatanan dunia baru. Sejarah dunia ini berkembang antara abad ke-2 SM hingga abad ke-15 M. Istilah jalur sutra pertama kali digunakan oleh Ferdinand von Richthofen, seorang geografer Jerman pada abad ke-19. Nama ini diambil dari komoditas perdagangan utama Tiongkok yang berupa sutra.

Jalur Sutra darat berawal dari Chang’an (sekarang Xi’an), Tiongkok, lalu melewati Gansu dan Xijiang, padang pasir Taklamakan, Dunhuang, Kashgar, Kyrgystan, Tajikistan, Uzbekistan, Persia, Anatolia (Turki), dan berakhir di Antiokhia, Mediterania. Adapun jalur maritim menghubungkan Tiongkok dengan Asia Tenggara, Kepulauan Indonesia, anak benua India, Semenanjung Arab, Mesir, dan Eropa. 

Jalur Sutra Uzbekistan

Jalur Sutra memiliki dampak yang signifikan, salah satunya adalah pertukaran budaya, agama, dan teknologi. Pertukaran budaya ini terjadi melalui barang-barang budaya seperti seni, kerajinan tangan, dan tekstil.

Uzbekistan adalah sebuah negara yang terletak di wilayah dalam Asia Tengah dan berdekatan dengan Kazakhtan, Kirgizstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Afganistan. Negara ini merupakan pusat Jalur Sutra pada jaman kuno, dan merupakan salah satu negara yang mendukung inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra.

Sekedar menelisik sekelumit sejarah Uzbekistan, wilayah ini telah dihuni sejak milenium ke-2 SM. Selama berabad-abad wilayah Uzbekistan diperintah oleh Kekaisaran Iran, seperti Kekaisaran Parthia dan Sassanian. Selain itu, Uzbekistan juga pernah menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan-kerajaan besar, seperti Kekaisaran Romawi Timur, Alexander Agung, Kekaisaran Persia, Kekaisaran Mongol, Kekaisaran Timurid, hingga Kekhalifahan Islam.

Pada abad ke-14, Timur Lenk, mantan Amir Kekaisaran Timuriyah, mengalahkan bangsa Mongol dan membangun sebuah imperium yang berpusat di Samarkand. Dalam sejarah Uzbekistan, Timr Lenk tercatat sebagai salah satu pahlawan terbesar Uzbekistan yang memainkan peranan penting dalam identitas dan sejarah nasionalnya. Walau setelah jatuhnya imperium Timur Lenk, kaum nomanden Uzbek merebut wilayah ini. Pada abad ke-16, Uzbekistan termasuk sebagai bagian Khanat Bukhara hingga pada abad ke-19 Kekaisaran Rusia berekspansi dan menyebar ke Asia Tengah. Puncaknya, pada tahun 1917, pasca Revolusi Bolshevik, Uzbekistan juga masuk dalam Uni Soviet.

Adalah Islam Abduganiyevich Karimov, yang pada 24 Maret 1990 menjabat sebagai Presiden Republik Sosialis Soviet Uzbek, sekaligus sebagai Sekretaris Pertama Partai Komunis Uzbekistan, mendeklarasikan Uzbekistan sebagai negara merdeka pada 31 Agustus 1991 dan memenangkan pemilihan presiden pertama pada 29 Desember 1991 dengan perolehan suara 86% yang kemudian menjadikannya sebagai presiden pertama yang menjabat sejak 1991 hingga wafatnya pada 2 September 2016. Posisi Islam Karimov kemudian digantikan oleh Shavkat Miromonovich Mirziyoyev, yang sebelumnya sebagai Perdana Menteri.

Uzbekistan adalah negara pengekspor kapas terbesar kedua dan produsen terbesar kelima di dunia. Negara ini sangat bergantung pada produksi kapas sebagai sumber utama pendapatan ekspornya, selain emas, gas alam, dan minyak. Uzbekistan juga dikenal dengan kebun anggurnya, pemeliharaan domba karakul, dan ulat sutra. Selain itu, Uzbekistan juga merupakan penghasil sayuran dan buah-buahan yang sangat besar yang bersumber dari perkebunannya yang tersebar di 12 provinsi yang disebut viloyat (selain satu republik otonom dan satu kota independen), yang terbagi dalam 175 distrik yang disebut tumaniar.

Ibu kota Uzbekistan, Tashkent, merupakan pusat oasis di tepi Sungai Chirchik, anak Sungai Syrdarya, yang merupakan daerah penghasil kapas dan buah yang sangat subur. Dalam bahasa Uzbek, tashkent berarti kota batu. Dalam sejarah panjang rentang lebih dari 2.000 tahun, Tashkent dahulu berfungsi sebagai pusat transportasi utama di Jalur Sutra kuno yang menghubungkan Timur dengan Barat.

Tashkent terletak di wilayah barat laut Uzbekistan, antara Pegunungan Tien Shan dan Sungai Syrdarya, dengan pusat wilayahnya berada di Bandar Nurafshan. Dengan luas wilayah 334,8 Km2, menjadikan Tashkent sebagai kota terbesar di Asia Tengah. Populasi Tashkent pada tahun 2024 sekitar 3,041 juta dengan komposisi jumlah pria sekitar 49,1% dan wanita sekitar 50,9%.

Kota Tashkent merupakan pusat industri dan transportasi utama dengan industri yang memproduksi mesin, tekstil katun dan sutra, bahan kimia, produk tembakau, dan furnitur. Selain itu, sebagai pusat budaya Uzbek, Tashkent memiliki beberapa perpustakaan besar dan merupakan tempat kedudukan Akademi Ilmu Pengetahuan Uzbek dan banyak institusi pendidikan tinggi.

Tashkent adalah kota yang sangat menarik dan bersemangat. Akar budaya Uzbek yang kaya terpancar melalui arsitektur kota, museum, dan stasiun metro. Cara terbaik untuk merasakan sepenuhnya budaya di Tashkent adalah dengan mengunjungi pasar lokal, yang merupakan tempat pertemuan sosial warga Tashkent. Selain itu, kehidupan malam di Tashkent juga memiliki sensasinya sendiri. Ada banyak klub malam serta kedai teh dan kafe dengan berbagai masakan Uzbek yang sangat unik dan lezat seperti osh atau plov, samsa, shashlik, lagman, dan sebagainya.

Jalur Maritim Nusantara

Selain Jalur Sutra Uzbekistan, Tiongkok juga berupaya membentuk Jalur Sutra baru melalui program Belt and Road Initiative (BRI). Program ini melibatkan kerja sama infrastruktur dengan negara-negara di Asia dan Afrika.

Di Indonesia, ada Jalur Maritim Nusantara yang juga dikenal sebagai Jalur Rempah yang merupakan jalur perdagangan maritim yang menghubungkan Nusantara dengan negara-negara di Asia, Timur Tengah, dan Eropa. Jalur ini menjadi rute utama perdagangan rempah-rempah yang sangat dicari pada masa lalu.

Jalur Rempah Nusantara memiliki berbagai karakteristik, di antaranya, (1) terbentuk dari perdagangan perecah yang telah terjalin selama ribuan tahun silam yang mencapai puncaknya pada abad ke-15 hingga abad ke-17 di mana bangsa Eropa berlomba untuk menguasainya; (2) komoditas utama yang diperdagangkan di jalur ini adalah rempah-rempah, seperti cengkih, pala, lada, kayu manis, dan kaulaga; (3) jalur ini menghubungkan tiga benua besar, yaitu Asia, Afrika, dan Eropa; dan (4) jalur ini memiliki jejak peradaban dan ekonomi di wilayah Nusantara.

Jalur Rempah Nusantara memiliki dampak yang signifikan bagi Indonesia, di antaranya, (1) menjadi wilayah strategis dalam kegiatan perdagangan, (2) membawa dampak dalam kegiatan sosial, (3) membentuk asimililasi budaya dan diplomasi di setiap persinggahan, dan (4) membawa kekuatan terintegrasi suku-suku bangsa dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Melalui Jalur Pedagangan Maritim Nusantara, komoditas rempah Indonesia mampu menyingkirkan komoditas rempah dari Srilangka melalui empat dari tujuh selat utama pelayaran dunia, yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makasar.

Kini setelah komoditas rempah telah bisa dipenuhi dari belahan dunia mana pun, perdagangan dunia bergeser, dari apa yang ada di atas permukaan tanah menjadi apa yang ada di dalam tanah, dari rempah-rempah menjadi mineral dan minyak bumi.

Namun, pergeseran komoditas utama perdagangan dunia tetap tidak mampu menggeser peran strategis dari letaknya, Indonesia tetap berada di jalur perdagangan dunia, dan Indonesia juga kaya akan komoditas yang dibutuhkan masyarakat dunia saat ini.

Masalahnya, apakah kita mampu memanfaatkannya, dan apa yang bisa dipelajari dari Jalur Sutra Tiongkok-Uzbekistan maupun Jalur Maritim Nusantara dengan jalur rempahnya, juga sejauh mana daerah mampu menyikapinya dengan trengginas?

Pemerintahan Presiden Jokowi pernah meluncurkan agenda pembangunan baru Indonesia yang bertitik tolak dari kebijakan Poros Maritim (maritime axis) Dunia. Kebijakan ini mengungkapkan penekanan Indonesia pada pembangunan sektor kelautan di berbagai aspek dalam rentang waktu tahun 2015-2019.

Poros Maritim Dunia pun muncul dan dikampanyekan sebagai kebijakan pemerintahan, dengan menjadikan sektor maritim sebagai pendulum, panduan, atau penentu, sekaligus tujuan pembangunan kabinet kerja waktu itu, baik dalam jangka pendek, menengah, mau pun panjang. Namun, sejauh mana perkembangan program kerja tersebut, serta apakah daerah telah mampu memanfaatkan peluang dari kebijakan tersebut?

Kabupaten Tegal barangkali bisa menjadi salah satu contoh tentang bagaimana sesungguhnya daerah tidak cukup memiliki kemampuan untuk memanfaatkan peluang kebijakan itu karena birokrasinya belum mampu menangkap peluang tersebut.

Oleh karena itulah reformasi birokrasi diperlukan sebagai upaya untuk melakukan perubahan mendasar pada sistem penyelenggaraan pemerintahan. Reformasi birokrasi perlu dilakukan dengan menata ulang proses birokrasi agar bisa lebih supel dan cekatan.

Dengan perubahan mendasar itu, diharapkan daerah seperti Kabupaten Tegal mampu mengatasi berbagai persoalan pelik yang dihadapinya, seperti tingkat pengangguran yang relatif cukup besar, yakni 73.171 jiwa atau 8,6% dengan tingkat partisipasi kerja berada pada kisaran 67,61% (Sakernas, 2023). Jumlah pengangguran yang relatif besar itu berakibat pada tingginya angka kemiskinan. Data Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024 mencatat ada sekitar 98.020 penduduk miskin (6,81%), dengan kedalaman kemiskinan (P1) sekitar 0,97% dan keparahan kemiskinan (P2) sekitar 0,22%. Ada pun persentase penduduk miskin ekstrim berkisar 348.000 jiwa atau 0,24% (2023) hingga 0,87% (2024) (P3KE, 2021-2023). Sementara nilai APBD hanya berada pada kisaran Rp3,1T dan kontribusi PAD sebesar 560M per tahun.

Kabupaten Tegal nampaknya perlu mereformasi birokrasinya, terutama di beberapa aspek, seperti, namun tidak terbatas pada, manajemen perubahan, deregulasi kebijakan, penataan dan penguatan organisasi, penataan tata laksana, penataan sistem manajemen SDM aparatur, penguatan akuntabilitas, serta penguatan pengawasan.

T Hari Prihatono, Peneliti Senior PARA Syndicate, Jakarta. Direktur Eksekutif PROPATRIA Institute 1999-2014