Kontroversi terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) tidak kunjung mereda bahkan berbagai elemen masyarakat secara tegas menyatakan penolakannya terhadap Perpres tersebut.
- Nenek 90 Tahun Doakan Ganjar Jadi Preaiden Saat Kunjungi Danau Toba
- Laporan Akhir Masa Jabatan, Suyono Tegaskan Maju Lagi Bareng Wihaji
- Mantan Ketua Demokrat Salatiga, Miftahudin Ambil Formulir Calon Wali Kota Atas Nama Pribadi
Baca Juga
Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris yang membidangi persoalan tenaga kerja Fahira Idris menilai landasan penerbitkan Perpres 20/2018 tentang Penggunaan TKA ini tidak kuat terutama jika dilihat dari sisi sosiologis dan yuridis.
Dari sisi sosiologis, Perpres ini dianggap tidak mencerminkan keadaan atau kenyataan yang ada di dalam masyarakat yang saat ini kesulitan mencari pekerjaan. Sementara dari sisi yuridis, beberapa pasal dalam Perpres dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Perpres ini tidak sensitif dan responsif terhadap kondisi masyarakat kita. Jika saat ini rakyat mudah dapat pekerjaan, penolakan terhadap Perpres TKA takkan sebesar ini. Cara Pemerintah menjawab persoalan dengan membandingkan besarnya jumlah TKI kita di luar negeri, sangat tidak bijak dan relevan. Di Malaysia, Saudi Arabia, Hongkong, atau Singapura, selain angka pengangguran rendah, TKI bekerja di sana karena negara-negara tersebut membutuhkan. Jadi tidak releven alasan seperti ini," ujar Fahira dalam keterangannya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (27/4).
Berbagai kemudahan bagi TKA dalam Perpres ini juga dianggap menabrak pasal-pasal dalam UU 13/2003. Diantaranya dokumen pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang otomatis menjadi izin untuk mempekerjakan TKA, padahal dalam UU, RPTKA hanya salah satu syarat karena ada syarat lain yang harus dipenuhi yaitu dokumen Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing.
Tidak hanya itu, kemudahan yang diberikan Pasal 10 Perpres ini di mana TKA pemegang saham, pegawai diplomatik, dan jenis pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah, tidak membutuhkan RPTKA juga sangat berpotensi bertentangan dengan UU Tenaga Kerja.
Bagi Fahira, kekhawatiran masyarakat terhadap Perpres dan keberadaan TKA adalah hal yang wajar dan memang harus disuarakan. Selain belakangan ini marak berbagai temuan dan pemberitaan terkait TKA ilegal, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) juga menemukan fakta bahwa hampir tiap hari banyak TKA khususnya yang berasal dari China masuk ke Indonesia dan bekerja sebagai buruh kasar. Maladministrasi pada proses masuknya TKA dianggap sebagai jalan yang memudahkan masuk TKA Illegal ke beberapa wilayah di Indonesia.
Menurut Senator Jakarta ini, biang persoalan TKA yaitu Perpres 21/2016 tentang bebas visa kunjungan terhadap 196 negara dan Permenaker 35/2015 yang menghapuskan kewajiban TKA bisa berbahasa Indonesia, tidak pernah dievaluasi oleh pemerintah sehingga di lapangan banyak ditemukan TKA illegal dan TKA legal tetapi bekerja sebagai buruh kasar dan supir yang seharusnya bisa menggunakan tenaga lokal.
"Saya mau ingatkan pemerintah bahwa persoalan TKA ini serius dan bisa merembet ke mana-mana bahkan bisa langsung ke masyarakat di mana terdapat kantong-kantong TKA berada. Jangan sampai terjadi gesekan sosial karena ini berbahaya," tutup Fahira.
- SBY: Biarkan Capres Yang Pilih Cawapres
- LaNyalla Minta Perpanjangan PPKM Darurat Jangan Makin Menyusahkan Rakyat
- Dana Kampanye Pilkada Blora Dibatasi Rp 16,1 Miliar