Ratusan Ribu Tenaga Medis dan Kesehatan Lakukan Aksi Damai, Menuntut Stop Pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law

Gelombang tuntutan dari para tenaga medis dan kesehatan dari berbagai organisasi profesi terus berlanjut. Awal pekan ini, lebih dari 100 Ribu Tenaga Medis dan Kesehatan Lakukan Aksi Damai Serentak di selurih wilayah di Indonesia. Tuntutannya adalah Stop Pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law.


Kali ini, sekitar 30 ribu para tenaga medis dan kesehatan yang tergabung dalam 5 Organisasi Profesi (OP) yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), serta banyak forum tenaga kesehatan dan masyarakat kesehatan kembali menyuarakan kegelisahannya dalam Aksi Damai Jilid 2 yang diadakan di  depan Gedung DPR-MPR Jakarta. 

Sementara itu, secara total, terdapat sekitar 100 ribu tenaga medis dan kesehatan yang melakukan aksi damai serentak di berbagai wilayah di Indonesia.

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, DR dr Moh. Adib Khumaidi, SpOT mengatakan berbagai upaya diskusi telah dilakukan oleh para tenaga medis dan kesehatan yang tergabung dalam 5 Organisasi Profesi Medis dan Kesehatan (PB IDI, PPNI, IBI, PDGI, dan IAI) di Indonesia, namun pemerintah tetap bersikeras bahwa RUU Kesehatan ini harus diketok palu.

Padahal para tenaga medis dan kesehatan melalui 5OP telah memberikan masukan bahwa untuk penanganan masalah kesehatan yang ada dan mendatang tidak perlu membuat Undang-Undang baru. Selain itu, masih ada banyak permasalahan kesehatan di Indonesia terutama di wilayah terpencil yang jauh lebih urgensi ditangani.

"Kami, para tenaga medis dan kesehatan sangat mendukung transformasi kesehatan untuk negeri ini. Namun, dalam transformasi kesehatan seharusnya  Pemerintah memprioritaskan masalah kesehatan yang masih banyak belum tertangani terutama di wilayah terpencil, bukannya dengan membuat RUU Kesehatan yang tidak ada urgensinya ini,” tegas Adib, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (6/6).

Banyaknya jumlah regulasi ternyata tidak berbanding lurus dengan kemampuan regulasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Jika aturan-aturan hukum yang dikeluarkan tidak sinkron, salah satu akibatnya adalah tidak adanya kepastian hukum bagi rakyat, dalam hal ini tenaga medis dan kesehatan, juga masyarakat.

Sejak draft Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan Omnibus Law) 'bocor' pada tahun 2022 lalu, para tenaga medis dan kesehatan gelisah karena selain proses rancangan yang tidak transparan, namun juga isi RUU tersebut yang tidak memberikan rasa aman dan nyaman bagi para tenaga medis dan kesehatan untuk bekerja. 

"Bahkan selama 3 tahun masa pandemi, para tenaga medis dan kesehatan selalu berada di garis depan dan benteng terakhir untuk melindungi pemerintah dan masyarakat. Tidak sedikit nyawa tenaga medis dan kesehatan yang menjadi korban,” ungkap Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), DR Harif Fadhillah, S.Kp.,SH.,M.Kep.,MH,.

Ia mengatakan setelah bekerja keras membantu memulihkan situasi kesehatan di Indonesia, seruan para tenaga medis dan kesehatan akan RUU Kesehatan seperti angin lalu bagi pemerintah, sebagaimana terjadi sebelumnya dalam pembuatan UU Cipta Kerja yang tidak transparan.

“Belum tampak perbaikan dari perlindungan (hukum) bagi tenaga medis dan kesehatan dalam hal kontrak kerja, sebagaimana UU Existing yang seharusnya cukup dibuat peraturan perundang-undangan pada tingkat di bawahnya yang lebih spesifik,” kata Dr. Emi Nurjasmi, M.Kes, Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dalam siaran pers, Selasa (6/6).

Sementara itu, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia, Apt Noffendri Roestam, SSi menyoroti masalah multi Organisasi Profesi (OP) yang berisiko menimbulkan standar ganda/multi dalam penegakan etika yang tentunya akan membahayakan keselamatan pasien di kemudian hari. 

“Banyak OP dengan banyak standar etika yang berbeda, maka di satu OP yang mungkin saja tidak dianggap sebagai di OP lain akan dimanfaatkan oknum-oknum tertentu untuk   -   OP sehingga keselamatan masayarakat sebagai pasien tentunya akan terancam pula. Padahal ada juga profesi lain dalam UU juga disebutkan OP (tunggal)nya, misalnya notaris, akuntan, arsitek, psikolog. Hal yang sama seharusnya berlaku juga untuk profesi medis dan tenaga kesehatan karena menyangkut standar untuk keselamatan dan nyawa manusia,” tutur Noffendri.

Seperti halnya Pasal 235 RUU, pengalaman kerja di luar negeri bukan merupakan jaminan kualitas tenaga medis/tenaga kesehatan warna negara asing dapat melakukan pelayanan kesehatan di Indonesia sehingga bukan tidak mungkin akan berisiko membahayakan masyarakat. 

“Pemerataan pelayanan kesehatan dapat dicapai dengan mengoptimalkan peran dan kemampuan dari tenaga medis/tenaga kesehatan yang ada di Indonesia sehingga perlu dipertimbangan apakah Pemanfaatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri misalnya dalam kemudahan perijinan, kemudahan warga negara asing dalam mengikuti Pendidikan spesialis di Indonesia tidak akan membawa dampak negatif bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara Indonesia itu sendiri,” kata drg. Usman Sumantri, MSc, Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI)

Dalam Aksi Damai Jilid 2 ini, semua tenaga kesehatan yang hadir meminta agar pemerintah, Panja, serta seluruh pihak yang terlibat dalam RUU Kesehatan ini melibatkan Organisasi Profesi yang diakui secara Konstitusi sehingga tidak terkesan buru-buru.  

“Banyak hal yang masih dapat dan perlu diperbaiki dengan duduk bersama Demi Indonesia yang lebih baik. Bersama kita ciptakan proses demokrasi yang sesuai dengan Pancasila yang berkeadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” seru masing-masing ketua OP dalam Orasi Aksi Damai JIlid 2.