- UKSW Sudah Maksimal Bantu Mahasiswa Asal Kabupaten Pegunungan Bintang
- Sebanyak 3.010 Porsi Disiapkan SPPG Lanud Adi Soemarmo
- Pahami Nilai-Nilai Pancasila secara Konsisten Perkokoh Persatuan Bangsa
Baca Juga
Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang dicanangkan Menteri Pendidikan Dasan dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti sebagai pengganti Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dinilai belum menjadi solusi tepat mengatasi karut marutnya dunia pendidikan di Tanah Air.
Ironisnya, ‘aturan main’ baru ini justru dinilai bisa kembali melahirkan diskriminasi baru bagi hak anak untuk akses pendidikan dan sekolah. Dikotomi sekolah ‘favorit’ dan ‘unggulan’ pun diyakini bakal menambah sengkarut pendidikan Indonesia yang memang sudah carut marut.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriawan Salim memaparkan, tiga persoalan dasar yang dilewatkan oleh SPMB. Pertama, tentang jumlah dan sebaran sekolah negeri serta mutu pendidikan di berbagai wilayah Indonesia.
“Ada wilayah yang sekolah negerinya memiliki keterbatasan ruang sehingga tidak mampu menampung karena jumlah calon siswa lebih besar. Ambil contoh, di Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Bogor,” ungkapnya dikutip Senin (3/2).
Sebaliknya, ada sekolah yang kekurangan murid bahkan tidak ada murid yang mendaftar. Kondisi ini ditemukan di wilayah Solo, Jepara, Sragen, Gunung Kidul, Kabupaten Semarang, Bantul, Pangkal Pinang dan lain-lain.
Realita ini terjadi akibat jarak rumah dan sekolah yang terlalu jauh, sementara transportasi umum yang ada didaerah kurang memadai. “Masih ditambah lagi dengan banyak jalan yang rusak, sehigga orangtua memilh untuk menyekolahkan anaknya di sekolah/masdrasah yang dekat dengan rumah mereka,” ujarnya.
Persoalan kedua tentang pendekatan yang masih parsial dalam menyelesaikan masalah. Dalam pengamatan P2G, persoalan SPMB hanya menjadi tanggungjawab satu kementerian yakni Kemendikdasmen.
Padahal, SPMB memerlukan kolaborasi kebijakan karena menyangkut bukan saja sistem kependidikan saja tetapi menyangkut permasalahan sebaran gedung dan fasilitas sekolah, sebaran muridnya, perihal kependudukan (kartu keluarga), transportasi, akses internet, dan masih banyak lagi. Kesemuanya itu tidak cukup menjadi perhatian kementerian saja akan tetapi penting untuk sinergitas dengan pemerintah daerah (pemda).
“Masalah SPMB selalu terlihat sebagai kebijakan pemerintah pusat yaitu kemendikasmen. Bahkan pemda pun terkesan pasif dan hanya sebagai pelaksana dari Peraturan Menteri saja. Idealnya harus menjadi tanggungjawan lintas kementerian,” paparnya.
Satriawan menambahkan seharusnya ada solusi komprehensif antar lintas Kementerian, misal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Kementrian komunikasi dan digital, Kementerian Agama dan Pemda, agar ketidakmerataan infrastruktur sekolah dapat diatasi.
Permasalahan ketiga adalah urgensitas pelibatan penegak hukum atas pelanggaran dalam proses penerimaan siswa. Selama ini pelanggaran hukum yang terjadi tidak ditindaklanjut sehingga hal serupa tetap marak terjadi.
Pelanggaran yang sering terjadi adalah manipulasi data kartu keluarga dan dokumen kependudukan, jualbeli kursi dan pungli. Belum lagi intervensi kepada panitia hingga kolusi olkum sekolah, pejabat daerah dan calon orangtua murid.
Menyikapi hal ini, Imam Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G menekankan pentingnya pelibatan penegak hukum dalam proses SPMB utuk mengatasi kecurangan yang terjadi sejak tahun 2017.
“Sampai saat ini belum ada penindakan atas pelanggaran yang dilakukan oleh oknum dari pihak sekolah, orangtua ataupun pejabat daerah. Penegak hukum harus dilibatkan agar proses SPMB benar-benar objektif, transparan, akuntabel dan berkeadilan,” ungkap Imam.
Imam menyayangkan hilangnya pasal larangan bagi Pemda menambah ruang kelas baru selama SPMB, seperti yang tercantum dalam Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB larangan itu tertulis jelas di pasal 33 ayat 7.
“Mengingat potensi oknum guru atau kepala sekolah, dinas pendidikan, pejabat daerah melakukan 'pungli' dan jual beli kursi pada calon orang tua murid, maka larangan dan ancaman pidana ini menjadi penting," tegas Iman.
Dari data Ombudsman RI, berbagai kasus pelanggaran hukum ini pernah terjadi di Medan, Batam, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Makasar dan Banten.
Selanjutnya P2G juga mendesak pemerintah untuk mewujudkan rencana pembebasan biaya pendidikan bagu siswa yang bersekolah di sekolah swasta akibat terbatasnya daya tampung sekolah negeri. “Hal ini harus tercantum secara eksplisit dalam Permendikdasmen SPMB,” kata Imam.
Kolaborasi Pemda dengan sekolah swasta pada proses PPDB sudah dilakukan di beberapa daerah, seperti Jakarta, kota Gorontalo dan Surabaya.
P2G juga berpendapat jika tanpa aturan pembiayaan tidak jelas, siswa akan beresiko terjebak dengan biaya sekolah swasta yang mahal.
Untuk itulah negara harus menjamin pembiayaan pendidikan dasar siswa, apalagi yang terpaksa masuk swasta karena jumlah dan daya tampung sekolah negeri yang terbatas sebagai sebab pemerintah gagal menyediakan sekolah negeri.
“Harus dihindari adanya diskriminasi berlapis, hak anak untuk masuk sekolah negeri tak terpenuhi, karena keterbatasan kursi dan harus masuk di sekolah swasta dengan biaya yang mahal. Ini melanggar konstitusi UUD 1945 pasal 31 ayat 1,” tegas Imam.
- Gandeng 14 Universitas, Jepara Siap Luncurkan 2 Ribu Kartu Sarjana
- Pemkab Purbalingga dan LPIT Harapan Ummat Perkuat Kolaborasi
- Kurikulum Berbasis Cinta, Siapkan Generasi Emas dari Madrasah