Tangis Pilu Nasabah BMT Al-Ishlah Salatiga, Miliki Tabungan Tapi Harus 'Ngutang' Agar Pendidikan Anak Tak Putus

ZH, warga Bugel, seorang nasabah Baitul Maal wat Tamwil (BMT) Al-Ishlah (KSU Syariah) di Jalan Patimura, Salatiga saat menunjukkan kartu tabungannya kepada wartawan, di kediamannya, Senin (7/3).
ZH, warga Bugel, seorang nasabah Baitul Maal wat Tamwil (BMT) Al-Ishlah (KSU Syariah) di Jalan Patimura, Salatiga saat menunjukkan kartu tabungannya kepada wartawan, di kediamannya, Senin (7/3).

Air mata ZH, warga Bugel, Salatiga seorang nasabah Baitul Maal wat Tamwil (BMT) Al-Ishlah (KSU Syariah) di Jalan Patimura, Salatiga tak terbendung saat mengisahkan perjuangannya mengumpulkan pundi-pundi rupiah demi masa depan anaknya.


Ya, ZH adalah salah satu nasabah BMT Al-Ishlah KSU Syariah Salatiga yang meratapi uang tabungannya tak dapat ia cairkan setelah sekian lama menabung.  Bahkan, ia semakin tak dapat berfikir lagi mana kala harus membayar hutang disaat biaya kuliah anaknya harus segera dilunasi. Padahal, dirinya dan suami memiliki tabungan dari jerih payah sebagai kuli bangunan serta bekerja menjadi Asisten Rumah Tangga (ART). 

"Saya harus gali lobang tutup lobang, karena biaya kuliah anak harus tetap terbayarkan. Harusnya itu tidak terjadi, kalau saja tabungan saya total kurang lebih Rp 20 juta bisa cair di BMT Al-Ishlah," ujar ZH kepada wartawan, saat ditemui di rumahnya, Senin (7/3). 

Ia pun mengisahkan, ihwal bisa bergabung dengan BMT Al-Ishlah KSU Syariah yang berkantor di Jalan Patimura Salatiga itu.  Diawali kedatangan seorang wanita karyawan BMT Al-Ishlah, yang masih kerabat dari suaminya sendiri, berisinial AS. Tugas as memang mencari nasabah.  Dengan bujuk rayu, dijanjikan akan berjalan lancar termasuk mengambil sewaktu-waktu bisa. Bahkan, ZH bersama suami dijanjikan bunga, doorprice serta THR di saat lebaran berupa bingkisan sembako. 

"AS masih kerabat suami saya. Datang membujuk untuk mau bergabung nabung di BMT Al-Ishlah ini. Karena 'nggak' enak hati, saya pun akhirnya mau nabung," ujar ZH, lirih. 

Kali pertama menabung, ZH menyebut sejak tahun 2017 nominal yang ia setor Rp 5 juta.  Kemudian kedua kalinya Rp 8 juta.  Tak hanya dirinya, sang suami pun  turut menabung nominal pertama Rp 4 jutaan dan Rp 1 jutaan. Total pasangan suami-istri ini sudah 'nyetor' sekitar Rp 20 jutaan.  

"Aku punya uang sedikit hasil kerja bapak e kuli bangunan, saya ingin anak memiliki massa depan bagus, pendidikan tidak putus, tidak seperti orang tuanya yang ART, suami kuli," tuturnya.  Ketika proses menabung di awal-awal, AS rutin datang untuk jemput bola mengambil uang tunai dan kemudian dicatatkan di selembar kertas yang diduga sebagai Sertifikat Simpanan Berjangka. 

Naas, harapan bisa mengambil uang sendiri gagal. Saat itu, AS memberikan alasan kepada ZH dan suaminya karena belum waktunya ambil alias bekum jatuh tempo.  Sabar pun, menjadi kunci keduanya untuk tidak memperpanjang persoalan. Hingga satu waktu, suami ZH yakni AK jatuh sakit. 

"Pernah sewaktu suami menderita sakit ginjal, membutuhkan biaya pertama teringat saya adalah  tabungan di BMT Al-Ishlah. Karena harapan diawal nabung dengan adanya tabungan BMT dapat terjamin, mengindari hutang," pungkasnya. 

Diluar dugaan, ZH hanya diberi uang tunai Rp 750 ribu yang ia sebut hanya sebagai bunga. Padahal yang diinginkannya adalah uang pokok.  Begitu juga saat anak harus membayar uang semesteran. Lagi-lagi saat anak hendak bayar kuliah juga tidak berhasil ia cairkan.  

"Katanya, nanti aja belum jatuh tempo. Sampai akhirnya saya mencari hutangan. Jadi tiap bayar semester saya 'ngutang', satu semester sekitar Rp 2,5 juta. Satu tahun tiga kali. Sekarang sudah mau wisuda, saya tidak punya uang sama sekali," ungkapnya dengan air mata mengalir di kedua sudut matanya. 

"Saya tetap sakit hati, mau ambil uang sendiri 'kok' gak bisa. Bahkan saya memelas menghubungi marketing menyebut jika mengambil uang sendiri bukan hutang. Sampai saya menyebut kematian," lanjut ZH. 

Saat ditanya mengapa tidak mendatangi BMT Al-Ishlah untuk meminta kejelasan, ia enggan datang ke kantor di Jalan Patimura.  Selain telah terlihat tak lagi beroperasional karena cukup lama tutup, ia beranggapan AS si marketinglah yang harusnya menyelesaikan persoalan ini ke rumahnya. 

"Karena saat butuh nasabah dan ambil uang saya buat menabung dia datang, jadi maunya dia juga antar uang saya ke rumah ini," pintanya. 

Dengan nada nyaris tak terdengar, HZ berharap yang muluk-muluk. Ia ingin uangnya beserta suami dapat segera cair sehingga beban untuk membayar wisuda anak serta hutang segera teratasi.