Ramainya bantuan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang digelontorkan pemerintah selama pandemi Covid-19, tak melulu dirasakan sebagian pelaku pengrajin di Kabupaten Semarang.
- PT Elecmetal Longteng Indonesia Bangun Pabrik Grinding Ball di KITB
- Festival Ramadan Semarang Barat, Hadirkan Pak Rahman Dan Ngabuburit Bagi Warga
- TMMD di Wonogiri Buka Akses Usaha Pertanian Warga
Baca Juga
Seperti pengakuan sepasang suami istri, Muhir dan Siti Romlah asal Randurancang, Desa Sukorejo III, RT 19 RW 06, Kecamatan Suruh.
Sepanjang suami istri lanjut usia ini, kesehariannya bergelut dengan bambu hingga menghasilkan kerajinan Kepang, sejenis tikar terbuat dari bambu apus yang mulai tergerus jaman.
Dengan polos dan lugunya, Muhir mengaku kerajinan Kepang yang ia buat jauh dari kata 'besar'. Lagi-lagi terbentur modal usaha, Muhir mengaku kerajinan Kepang yang ia rakit dengan tangan tuanya dibantu sang istri, hanya mampu dikelola secara rumahan.
"Modalnya untuk membeli bambu saja, selebihnya membutuhkan kerajinan dan ketrampilan tangan. Dibutuhkan tiga bambu apus sepanjang 8 meteran, setidaknya menghasilkan satu tikar Kepang sepanjang empat meteran lebar 170 centimeter," kata Muhir saat ditemui di teras rumahnya yang sederhana, Kamis (11/11).
Dibantu sang istri, Siti Romlah, suami istri ini telah bergelut dengan kerajinan Kepang sejak kecil. Praktis, kerajinan Kepang adalah warisan orang tua mereka.
"Karena memang kerajinan ini turun temurun dari orang tua kami," timpal pria kelahiran 1962 tersebut, dengan tangan tuanya terlihat tetap lincah merakit lembar demi lembar bambu tipis yabg telah dibersihkan oleh istrinya.
Dalam hitungan tiga hari, suami istri ini bisa menghasilkan setidaknya satu tikar Kepang. Setidaknya, dalam seminggu dua Kepang bisa dihasilkan.
"Kepang ini fungsinya kebanyakan digunakan untuk jemur padi, kedelai. Tapi bisa juga untuk dinding bangunan rumah," papar Muhir.
Dijual dengan harga jual yang lumayan murah, satu lembar Kepang panjang empat meteran lebar 170 centimeter, hanya Rp 35 ribu. Harga yang jauh dari kata sepadan dengan proses pembuatannya berhari-hari.
Nilai yang jauh dari kata sepadan dengan proses pembuatan serta modal yang dikeluarkan.
"Beli bambu satunya, Rp 7000, setidaknya butuh tiga bambu untuk satu Kepang. Dengan modal Rp 21 ribu, sebuah tikar yang telah jadi dijual dengan harga Rp 35 ribu," ujarnya.
Muhir tak menampik, di masa pendemi Covid-19 pembeli memang datang langsung ke rumah. Setidaknya, sebulan sekali hanya beberapa orang saja yang datang membeli.
Sejauh ini Muhir dan istri memang tidak berupaya jemput bola menjual ke luar daerah karena keterbatasan tenaga serta kesehatan yang mulai menurun. Lagi-lagi, permodalan membuat keduanya tak ingin 'ngoyo'.
"Karena memang tidak dijual secara besar-besaran lantaran terkendala modal. Keinginan hati juga bisa membesarkan usaha Kepang ini, tapi tidak tahu cara mendapatkan modal. Apalagi bantuan usaha dari pemerintah selama Covid-19 'blas' gak tahu apa-apa," akunya.
Hal serupa disampaikan Siti Romlah. Dengan ketekunannya membantu usaha rumahan suaminya, Siti Romlah mengaku semangat menjadi dasar ia dan suami, tetap memproduksi Kepang.
Bertugas memotong, membelah, hingga membersihkan serat bambu menjadi tugasnya, Siti Romlah ingin sekali usaha kerajinan Kepang suaminya semakin besar dan dikenal dibelahan daerah lain di luar Kabupaten Semarang.
Terkait bantuan usaha yang di gelontorkan pemerintah, diakuinya sama sekali belum menerima. Ia pun bahkan tak mengetahui jika ada bantuan usaha UMKM kecil seperti dirinya.
"Selama pandemi Covid-19, sepi pembelian. Berbeda saat sebelum Covid-19. Ingin rasanya membesarkan usahanya, tapi modal 'cumpen'," pungkasnya.
Sementara, seorang anggota Koramil 08 Suruh, Kodim 0714 Salatiga, yang juga Babinsa membawahi wilayah Desa Sukorejo Sertu Kundori menyebutkan, pengrajin Kepang memang tidak banyak di desa yang menjadi wilayah binaannya itu.
Meski tak banyak, keberadaan Muhir dan istri menjadi pertanda kerajinan Kepang tak tergerus jaman. Ia pun akan membantu tetap mempertahankan kerajinan Kepang serta pengrajin lainnya dengan mengumpulkan para pelaku usaha yang ada di desa Sukorejo.
Diakuinya, ada cukup banyak pengrajin di Desa Sukorejo, Kacamatan Suruh, Kabupaten Semarang ini. Harapannya, pelaku UMKM dapat berjalan beriringan dengan Desa Wisata Suruh.
"Rencana saya, Desa Wisata jalan sehingga pengunjung yang datang dapat ikut meninjau pelaku UMKM dengan menggunakan Shelter/tempat penampungan. Sehingga, UMKM berjalan beriringan dengan pengembangan Desa Wisata Suruh," imbuhnya.
Terpisah, Kades Desa Sukorejo, Kacamatan Suruh, Kabupaten Semarang Ato'illah saat dikonfirmasi menyebut singkat jika UMKM di wilayahnya masih rintisan.
- Ponpes Takmirul Islam Panen Melon Hasil Pendampingan Urban Farming BI Solo dan Hebitren
- Mendag Lepas Ekspor Mainan Hewan ke Eropa dan Amerika Senilai Rp35 Miliar
- Layanan Pembayaran Pajak Tetap Buka Saat Libur Lebaran