Sejumlah proyek pemerintah yang didanai Asia InfraÂstructure Investment Bank (AIIB) dinilai bermasalah. Indikatornya, banyak pengaduan soal proyek tersebut. Lebih dari 90 persen pengaduan itu dinyatakan telah 'terselesaikan' dalam waktu yang singkat.
- Bawaslu Kabupaten Magelang Buka Lowongan Formasi 372 Pengawas Kelurahan/Desa
- Gelagat Gerindra Usung Duo Srikandi Di Pilwakot Salatiga
- Prihatin Gangster, Iswar: Anak Remaja Butuh Perhatian
Baca Juga
Hal ini diungkap Anggota Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur yang juga Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Andi Muttaqien. Dia menjelaskan, Indonesia merupakan salah satu aktor penting dalam AIIB.
"Selain sebagai salah satu dari 57 negara pendiri dan pemodal, Indonesia juga kini memiliki 3 proyek besar yang turut didanai oleh AIIB dengan total pinjaÂman sebesar 616,5 juta dolar Amerika," kata Andi.
Ketiga proyek tersebut, lanjut Andi, adalah National Slum Upgrading Project (NSUP) dengan nilai pinjaÂman 216,5 juta dolar AS, Regional Infrastructure Development Fund Project (RIDF) dengan nilai pinjaÂman 100 juta dolar AS, dan Dam Operational Improvement and Safety Project II dengan nilai pinjaÂman 300 juta dolar AS.
Dia menjelaskan, saat ini koalÂisi tengah memantau beberapa proyek yang ada di Indonesia. NSUP atau dalam pelaksanaan di Indonesia disebut program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). "Dari hasil pemantauan kami, proyek yang dibiayai AIIB dan Bank Dunia ini terdapat banyak permasalahan," katanya.
Pertama, laporan Bank Dunia menyatakan, terdapat 924 penÂgaduan tentang proyek, dan 99,56 persen atau 923 pengaduan telah 'diselesaikan'. Jumlah pengaduan yang tinggi ini tidak menjelaskan keprihatinan yang dikemukakan organisasi masyarakat sipil selama dua tahun terakhir, yang belum terselesaikan.
"Jatuh tempo pengaduan terÂbuka membutuhkan penyediaan data tentang 924 pengaduan ini dan mengklaim 99,56 persen dari pengaduan entah bagaimana telah 'diselesaikan'," ujar Andi.
Berdasarkan web resmi pemerintah, selama 1-30 April 2018, khusus di Area 2 proyek NSUP, ada 1.243 pengaduan. Anehnya, selama periode tersebut, 1.225 pengaduan diklaim sudah 'disÂelesaikan'.
"Bagi kami ini sesuatu yang tidak masuk akal. Selain itu, tidak ada data yang tercatat mengenai jumlah pengaduan di Area 1 dari proyek termasuk Jakarta, Sumatera, Riau, Jambi dan provinsi lainnya untuk April 2018," ungkapnya.
Namun, selama November 2017, batas akhir pengaduan terÂbuka untuk umum, dicatat untuk Area 1, ada 873 pengaduan, dan 100 persen pengaduan tersebut telah diselesaikan di bulan yang sama.
"Sehingga kalau jumlah penÂgaduan di dua area proyek NSUP ini digabungkan, ada lebih dari 2.000 pengaduan per bulan. Lagi-lagi yang mengherankan, hampir semua pengaduan yang banyak itu dapat 'terpecahkan' pada bulan yang sama," sambung Andi.
Menurut koalisi, klaim ini tidak kredibel mengingat fakta hanya 22,7 persen dari semua kota dengan proyek NSUP telah dinilai oleh Bank Dunia untuk memiliki 'gugus tugas'. Dalam hal ini dapat disimpulkan pula bahwa klaim menyelesaikan pengaduan tidak menyentuh atau memperbaiki keadaan yang beÂnar-benar terjadi di lapangan.
Manager Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Edo Rahman menÂerangkan, laporan Bank Dunia pada April 2018 juga mencatat persentase penghuni permukiÂman kumuh yang puas dengan kualitas infrastruktur dan layanÂan perkotaan adalah nol.
Bank Dunia pun mengklaim bahwa survei akan dilakukan kembali pada kuartal ketiga 2018. "Jadi, data tersebut menunÂjukkan bahwa ada 917.690 yang tidak teridentifikasi 'penÂerima manfaat' di lokasi proyek, serta mengindikasikan bahwa masyarakat tidak puas terhadap proyek NSUP," katanya.
Selain itu, Bank Dunia juga mencatat bahwa dari 154 kota yang berpartisipasi, 121 kota atau 79 persen telah membenÂtuk gugus tugas. Namun hanya 28,8 persen dari gugus tugas lokal yang berfungsi efektif. Dengan kata lain, kurang dari 23 persen atau kurang dari 35 dari 154 kota yang telah memÂbentuk gugus tugas lokal sekaliÂgus berfungsi untuk program ini. Sisanya, yakni 77 persen dari 154 kota telah gagal membentuk gugus tugas lokal yang berfungsi untuk implementasi proyek. Sementara proyek ini telah berjalan selama dua setengah tahun dari target 5 tahun.
"Yang lebih parahnya lagi, tidak ada definisi yang jelas mengenai apa gugus tugas tersebut dan berfungsi untuk apa? Mengingat tingkat pengaduan yang luar biasa tinggi dari masyarakat. Dengan demikian kami secara tegas menÂgatakan bahwa ini merupakan kegagalan yang luar biasa dan risiko terhadap kredibilitas AIIB," tandas Edo. ***
- Cinta Bersemi Kembali? Kader NasDem Daftar Calon Wawali Salatiga Lewat Jalur Gerindra
- Ditetapkan Calon, Hadi Sugeng Gelar Tasyakuran dan Santunan Ratusan Anak Yatim
- Pertemuan Tertutup Cak Imin-Gibran di Solo Tak Bahas Masalah Pilpres