Polemik rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan
Peraturan KPU (PKPU) tentang larangan mantan narapidana tindak pidana
korupsi menjadi calon anggota legislatif harus segera diakhiri.
- Pendukung: Seruan Jokowi Untuk Jangan Penakut, Bukan Ngajak Berantem
- Hinca: Tidak Ada Tawar Menawar Jabatan Menteri Untuk AHY
- Polres Purbalingga Amankan Debat Calon Bupati dan Wakil Bupati
Baca Juga
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menawarkan, solusi dengan jalan tengah yaitu larangan mantan napi kasus korupsi nyaleg diserahkan saja kepada partai politik untuk membuat peraturan syarat jadi caleg.
Misalnya, mantan napi kasus korupsi tidak boleh nyaleg karena tidak akan dipilih rakyat, ketidak percayaan (distrust) dan akan gagal mendapatkan dukungan animo kepercayaan masyarakat.
"Termasuk affirmativ action keterwakilan perempuan sebesar 30 persen diatur dalam dalam UU 10/2008 ditegaskan bahwa partai politik baru dapat mengikuti setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat," kata Pangi dalam keterangannya, Sabtu (2/6) dikutip dari Kantor Berita Politik
Keterwakilan perempuan sebesar 30 persen diatur bukan dengan peraturan PKPU namun ada dalam regulasi UU 10/2008.
Menurut Pagi, kalau itu dilakukan maka "bola panas" ada pada parpol bukan lagi sama KPU, dan lembaga penyelenggara pemilu tersebut tidak perlu berhadapan secara langsung dengan aktor individu caleg dan parpol.
"Sekarang secara tidak langsung, mau tidak mau, suka atau tidak suka, KPU berhadapan langsung dengan peraturan perundang-undangan pemilu dan sekaligus politisi londo ireng yang tidak terima aturan PKPU melarang mantan napi koruptor nyaleg," ujarnya.
Pangi menilai mengatasi polemik tersebut harus dengan pandangan yang jernih dan melihatnya secara komprehensif dengan tinjauan dua sisi yang berbeda.
Di satu sisi menurut dia, kita berdebat soal HAM terkait hak politik setiap warga negara memilih dan dipilih, kembali ke prinsip equality before of the law atau sama di hadapan hukum, siapa pun dia.
Pangi mendukung KPU yang punya itikad baik menyaring orang-orang baik sebelum disajikan menu tersebut ke masyarakat, melalui peraturan PKPU yakni mantan napi koruptor kehilangan hak dipilih sebagai caleg.
"Melamar pekerjaan saja butuh SKCK. Bagaimana ceritanya melamar ke partai tertentu enngak ada negara dan parpol harus bertanggung jawab menyiapkan dan menyajikan menu yang baik yaitu wakil rakyat yang tak mengkhianati konstitusi, itu artinya yang tidak pernah jadi koruptor," katanya.
Namun di sisi lain, Pangi menilai biarkan pengadilan yang mencabut hak politik mereka, misalnya dicabut hak politik seumur hidup maka selama itu tidak punya hak memilih dan dipilih.
Pangi menilai UU 7/2017 tentang Pemilu tidak melarang mantan napi kasus korupsi nyaleg, khususnya Pasal 2.40 Ayat 1 huruf g dinyatakan, "seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka bahwa dirinya pernah berstatus sebagai narapidana".
"Persepsi awam kita bahwa peraturan PKPU yang melarang mantan napi berhadapan dengan peraturan perundang-undangan. Karena itu tadi UU pemilu tidak melarang, sehingga ada yang punya kesimpulan dan pertanyaan menarik yaitu apakah peraturan PKPU bertentangan dengan pasal 2.40 ayat 1 huruf g," katanya.
Pangi menegaskan PKPU yang dibuat KPU harus punya korelasi linear dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu UU 7/2017 Pemilu. Menurut dia KPU memang tidak melampaui kewenangannya karena PKPU hak KPU untuk menyiapkan aturan tersebut.
"Namun, aturan UU 7/2017 Pemilu tidak mengatur larangan tersebut, sekali lagi apakah peraturan PKPU bertentangan secara hirarki dengan UU Pemilu itu sendiri?" ujarnya.
- SBY Dan Zulhas Tidak Bicara Capres-Cawapres
- Parpol Dibiayai Negara, Rakyat Mesti Ikut Sejahtera
- Buka Rekrutmen Ulang PPK dan PPS, Segini Kuota Yang Dibutuhkan KPU Kudus