Bom Plt alias Pejabat Lilahi Ta'ala

Kekosongan jabatan karena pejabat sebelumnya purnatugas, dimutasi, promosi atau sebab lain, adalah hal yang jamak dalam birokrasi. Seperti ketika Luhut Binsar Panjaitan (LBP) selaku Menkomarinvest sakit, dan dirawat di Singapura, Etick Thohir didaulat merangkapnya. Posisi Erick, mantan calon Wakil Presiden yang boleh jadi pupus karena muncul Gibran adalah Menteri BUMN. Maka dia lantas mendapat tugas tambahan, yakni menjadi Menko Marinvest ad interim. Artinya dalam konteks yang lebih awam adalah pejabat sementara.


Menarik untuk menjadi topik ‘Catatan Jayanto’ ini fenomena PJ, Plt dan perangkapan serupa menjadi kecenderungan yang terjadi di mana mana. Di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sejumlah OPD (Organisasi Pemerintah Daerah) sebutan baru untuk lembaga teknis di bawah kendali birokrasi pemerintahan dipimpin seorang Plt. Kondisi tersebut dalam konteks manajemen birokrasi adalah tengara negatif. Karena ini menandakan kinerja organisasi ‘bermasalah’. Istilah bermasalah sengaja saya beri tanda kutip untuk menjadi catatan tersendiri.

Dua implikasi yang seius berelasi dengan banyaknya OPD ‘kosong’ karena yang dirangkap pejabat lain. Pertama,  secara kinerja menjadi tidak optimal karena mekanisme birokrasi timpang. Apalagi sederhana institusi yang dipimpin pejabat definitif, dengan pejabat sementara menjadi indikator ada yang tidak normal pada lembaga tersebut. Secara sosial, dan juga psikologi lebih buruk lagi,  karena regenerasi tidak berjalan.

Aspek berikut adalah terkait dengan budgeting. Tunjangan yang diberikan pejabat definitif  dengan Plt berbeda jumlah secara signifikan. Yang menjadi persoalan ketika hal itu dibiarkan berlarut, maka akan memicu terjadinya distorsi anggaran. Cilaka dua belas, ini istilah khusus untuk menggambar kondisi yang begitu buruk, ketika ada yang memaknai sebagai hal yang biasa. Untuk itulah perlu langkah langkah komprehensif sebagai ikhtiar konkret terjadinya kekosongan jabatan harus segera ada solusi.

Yang merisaukan dan ini menjadi tanda tanya besar, kekosongan jabatan masih menjadi kecenderungan umum, termasuk di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah (Jateng). Beberapa OPD di sini  masih kosong, sehingga dirangkap eselon dua yang lain, dan jumlahnya pun cukup signifikan. Kondisinya seperti ini secara manajerial pasti menganggu, karena ada SOP (standar operating procedure) yang tidak dapat berjalan semestinya. Ibarat murid kencing berdiri, guru kencing berlari akan menjadi hal yang jamak.

Menjadi catatan khusus di sini, kekosongan jabatan sekda Jateng yang sekarang diduduki Sumarno sempat diisi Plt beberapa kali, sejak Sri Puryono diberhentikan 25 Oktober 2019 Ganjar menunjuk Herru Setiadhie, kemudian digantikan Prasetyo Aribowo. Terakhir adalah Sumarno sampai menjadi pejabat definitif.

OPD OPD yang kosong karena pejabat definitifnya tidak ada, sehingga dirangkap pejabat yang telah memimpin OPD lain mencuatkan kritik dari legislatif.

Jika dirinci secara total kesosongan jabatan baik itu eselon II, eselon III (sekretaris dinas/kabid/kepala balai/kepala cabang dinas) dan eselon IV jumlahnya fantastis juga. 

Joko Haryanto, Wakil Ketua Fraksi Demokrat kala itu sempat mengkritik Ganjar Pranowo. Kekosongan jabatan itu, menurut Joko Haryanto, memberi preseden buruk di daerah, dalam hal ini Kabupaten dan Kota.

Kekosongan di BUMD

Fenomena kekosongan jabatan ketika Ganjar menjadi Gubernur Jateng tidak hanya terjadi di lingkup eksekutif. Bank Jateng salah satu BUMD andalan Pemerintah Provinsi kepodang juga mengalami nasib sama. Saat ini pucuk pimpinan bank kebanggaan wong Jawa Tengah ini dipimpin seorang Plt Direktur Utama.

Adalah Irianto Harko Saputro yang kini menduduki posisi orang nomor satu di bank milik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Irianto naik tahta lantaran Dirut sebelumnya, yakni Supriyatno yang telah sembilan tahun memegang tampuk mengundurkan diri. Langkah Nanok, panggilan mantan Kepala BPD DIY, sebelum bergeser ke Jateng diakui atau tidak sempat dinilai mengejutkan. 

Untuk diketahui tampilnya Supriyanto sempat membuat publik Bumi Kanthil bertanya tanya juga. Dia dinilai belum teruji untuk memimpin Bank Jateng. Dibanding BPD DIY, Bank Jateng lebih besar secara asset dan juga profil lembaganya. Namun keraguan itu terjawab Nanok tangkas menjadi nahkoda baru, bahkan bertahan hingga sembilan tahun.

Apa saja capaian lelaki pecinta musik jazz ini selama memimpin Bank Jateng? Dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir, Bank Jateng tercatat banyak mengalami kemajuan. Melansir data keuangan Bank Jateng, aset Bank Jateng meningkat hampir 3 (tiga) kali lipat dari Rp 30,70 Triliun pada Desember 2013 menjadi Rp 84,49 Triliun pada Desember 2022. Pertumbuhan aset tersebut diikuti pula dengan meningkatnya laba usaha hingga Rp 2,48 Triliun pada Desember 2022. Laba usaha Bank Jateng tersebut menjadi terbesar ke-2 dari 27 BPD se-Indonesia. 

Prestasi itu menjadi portofolio Supriyatno. Di sisi lain kontroversi yang menjadi pekerjaan rumah Plt Dirut bank semi plat merah ini juga mencuat. Sejumlah catatan itu antara lain, kasus kredit macet di Kantor Cabang Jakarta yang jumlah ratusan miliar belum secara gambling disampaikan ke publik. Begitu juga pengalihan saham Provinsi Jawa Tengah di Trans Marga Jawa Tengah dalam jumlah yang cukup signifikan sempat dipertanyakan DPRD Komisi C ketika itu.

Irianto sebagai nahkoda baru perlu menindaklanjuti atau menyampaikan penjelasan ke publik terkait hal di atas. Artinya langkah itu menjadi semacam katarsis agar akuntabilitas dapat dipertahankan. Jadi tidak berbias pada mengemukanya usul agar dilakukan audit atas kondisi riil yang ada supaya publik mendapatkan jawaban terang. 

Nah, di sinilah momentum penting ada di tangan Irianto. Apakah dia mampu menorehkan prestasi atau sebaliknya numpang lewat saja. Modal kuat telah digenggamnya, yakni secara professional publik mengakui, termasuk kalangan legislatif. Kembali pada momentum di atas, sekarang bola ada di tangan dia, apakah dengan tim yang ada sekarang mampu menorehkan gol atau sebaliknya.

Pada suatu kesempatan sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Utama, Irianto Harko Saputro, menyampaikan akan melanjutkan transformasi Bank Jateng ke arah yang lebih baik lagi. Bank Jateng ke depan akan lebih fokus lagi dalam peningkatan kualitas pelayanan, baik layanan di Kantor Cabang maupun layanan digital. Penyaluran kredit kepada pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) juga akan terus ditingkatkan, sehingga dapat lebih besar berkontribusi kepada kesejahteraan masyarakat.

Menggarisbawahi pernyataan nahkoda baru di atas, Irianto rupanya memiliki optimisme yang besar. Artinya stigma Plt yang banyak dikhawatirkan orang karena tak utuh mempunyai kewenangan dapat ditepis. Plt bukan merupakan kepanjangan plesetan Pejabat Lilahi Ta’ala, namun merupakan gerbang emas untuk posisi terhormat, yakni sebagai Direktur Utama definitive. Publik tentu berharap bank ‘kebanggaan’ wong Jawa Tengah ini mampu menjadi lokomotif pergerakan ekonomi.

Drs Jayanto Arus Adi, MM adalah Jurnalis Senior, Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi RMOL Jateng, Direktur JMSI Institute, Ahli Pers Dewan Pers, Tenaga Ahli Komisi II DPR RI.