Madu dan Racun, Peran Medsos di Palagan Pemilu

Siapa Menguasai informasi, merekalah yang akan menguasai dunia. Siapa menguasai medsos , dialah yang akan berkibar namanya.


Era disrupsi adalah kiamat bagi mereka yang gagap teknologi, atau lazim disebut ‘gaptek’.  Meski tak sepenuhnya sama catat, dunia mengalami evolusi pada beberapa bidang, dan revolusi di sektor lain. Revolusi 5.0 (five point zero) adalah suguhan yang tak bisa dielakkan. Menyitir teori Carles Darwin, yang bisa bertahan adalah bukan mereka yang kuat, keras, besar, atau bahkan raksasa, bukan. Namun survival of the fittest, yang bisa survive dan selamat adalah mereka yang mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri. 

Era ini adalah era dimana kita bisa menjadi penguasa dunia dari mana pun, termasuk di sini, Demak! Hanya mengarunginya kita perlu trampil beradaptasi dengan keadaan. Medsos adalah sebuah keniscayaan, karenanya mereka yang ‘gaptek’ akan tersingkir, tergusur, tersungkur. ‘’Siapa yang menguasai medsos adalah mereka yang akan berkibar namanya’.   Fenomena medsos memberi pelajaran telak pada kita. Bagaimana mereka yang bukan apa apa, tak diperhitungkan, namun tiba tiba menjadi bintang. Siapa sutradara dibalik itu, mereka diantaranya adalah para Buzzer.

Ya Buzzer merupakan istilah baru mendadak popular dan begitu penting.  Buzzer dikenal sebagai salah satu aktor sentral sebagai peracik opini di dunia maya. Mereka seperti sales yang menjalankan fungsi pemasaran untuk menjual sebuah produk. Strategi pemasaran yang diterapkan para buzzer, terbagi dua yaitu melalui kampanye negatif dan positif. Hanya saja, pemakaian istilah buzzer di medsos dominan dengan atribusi negatifnya, seperti kampanye hitam, atau black champaign.  Artinya begitu menyebut Buzzer, maka persepsi kita cenderung mengarah pada terminologi di atas.

Tulisan ini saya maksudkan untuk mendapatkan gambaran Buzzer yang lebih utuh, baik itu negative maupun positifnya. Lebih spesifik adalah Buzzer yang berelasi dengan Pemilu lebih tepat Pemilu 2024 mendatang.  Hasil studi menyimpulkan bahwa media sosial merupakan media yang paling efektif digunakan oleh buzzer politik. Profesi sebagai buzzer di media sosial menjadi naik kelas oleh dua aspek, pertama ini profesi yang seksi, dan kedua penghasilannya relatif tinggi. Stigma negatif karena Buzzer adalah mereka yang mengedapankan prinsip, maju tak gentar membela yang bayar.  Fenomena hoaks, ujaran kebencian, fitnah dan kampanye negatif adalah pekerjaan Buzzer, meski di awal tulisan ini sesungguhnya Buzzer positif tetap saja ada.

Terlepas dari kontroversi atas keberaradaan Buzzer, kondisi itu menjadi semakin parah karena regulasi yang mengatur cara kerja buzzer, dengan rambu rambu yang jelas juga belum ada. Alasan itulah di sini saya memandang perlu adanya code of conduct daripada Buzzer ini.   

Medsos versus Media Online

Media online menjadi jalan keluar dan kiat terindah di era sekarang. Dia ibaratnya jalan sutera bagi para warganet, atau yang lebih popular dengan sebutan netizen. Media cetak mengalami sandyakala salah satunya adalah ‘gempuran’ media online. Sebaliknya media online kelimpungan karena digempur oleh media sosial. Tidak hanya di Indonesia media cetak berguguran.

Di Amerika New York Time gulung tikar di awal awal internet menjadi pintu gerbang media online.  Negara paling dekat yang mengalami tragedi serupa adalah Singapura. The Straits Time media cetak paling berpengaruh di Asia Tenggara ini, persisnya Singapura tak mampu bertahan. Migrasi dari cetak ke online terjadi seperti fenomena mudik saat lebaran di Jawa. Di Indonesia, Media legendaris, seperti Suara Pembaruan, Suara Karya, Koran Tempo, Rebuplika kini telah menjadi almarhum, mati!  Media harus diakui menjadi pemantik pendidikan masyarakat dengan segala corak dan aksesori yang mewarnai. Media sosial begitu berdaya menjadi pengungkit popularitas juga media campaign yang apik. 

Sayang di Demak, yang menjadi amatan kecil saya, Parpol dan politisi yang ada belum memanfaatkan media online sebagai wahana strategis membangun komunikasi politik. Dampaknya tingkat partisipasi politik pemilih masyarakat, khususnya generasi milenial yang memiliki interest tinggi terhadap media online indeksnya belum begitu bagus. Karenanya materi ini saya harap dapat menjadi pengungkit pergerakan yang lebih dinamis. 

Secara khusus,  saya memberikan apresiasi Bawaslu Demak yang telah membuat terobosan strategis. Tujuannya adalah (1) untuk mendeskripsikan pengguna media sosial dikalangan pelajar sebagai pemilih pemula; (2) untuk mendeskripsikan pengguna media sosial berbasis internet di kalangan politisi/partai politik (3) untuk mengetahui konten pesan kampanye politik para politisi di media sosial.  Materi paparan ini bukan merupakan buah penelitian yang deskriptif analisis, namun pencermatan secara umum menilik trend yang berkembang dalam komunikasi publik di media online. Ke depan saya berharap Bawaslu dapat menfasilitasi adanya pendalaman terhadap kajian ini. Dengan begitu agenda yang lebih serius, seperti observasi, wawancara, kuesioner dan FGD (Focus Group Discussion) dapat dilakukan. 

Analisis sederhana yang saya lakukan berdasarkan data di media online dengan isu isu politik, khususnya Pemilu 2024 di mana simpulannya cukup memprihatinkan. Sebab meski pengguna media sosial semakin masif di kalangan pelajar sebagai pemilih pemula, namun interaksi melalui medsos belum secara optimal diberdayakan. Simak bagaimana mereka familiar bemedia sosial, baik itu Twiteer, Facebook dan Instagram, tapi melalui medium ini parpol dan politisi belum menggarapnya. 

Data dari survei sederhana yang saya lakukan 82,7 % politisi dan parpol di Demak belum memanfaatkan media sosial untuk agenda dan program politiknya. Artinya tergolong rendah.  Kemudian konten kampanye politik para politisi dalam media sosial kurang menarik (94,2%).

Adapun saran untuk para politisi antara lain: (1) Pemanfaatkan media sosial dalam kampanye pemilu secara optimal (2). Konten pesan politik sebaiknya disesuaikan dengan ciri khas pemilih pemula, seperti: sederhana, praktis, menarik dan mudah dipahami oleh mereka.  Menjadi rekomendasi di sini adalah kegiatan untuk memberikan pemahaman kepada generasi muda. Mereka perlu didorong untuk terlibat aktif  mengawasi pemilu dengan memanfaatkan media sosial (Medsos) perlu secara sungguh sungguh dilakukan.

Kita perlu mencermati bagaimana gerakan politik melalui media sosial sangat cepat di respon publik. Artinya simpulan bahwa  Media sosial menjadi sarana paling efektif terkait dengan Pemilu perlu diberi ruang lebih lebar.  Mereka (anak muda) perlu didorong dapat memberikan opini positif serta tidak membuat konten yang memecah belah  bangsa. Trend medsos mengalahkan media cetak bahkan televisi adalah sebuah keniscayaan. Karenanya sekali lagi saya memberikan apresiasi langkah Bawaslu Demak menggelar kegiatan ini. Medsos akan menjadi saran paling efektif untuk membuat pemilu lebih menarik dan meriah. 

Perlu Sinergi Khusus 

Menilik kondisi dan kecenderungan tersebut sekali lagi, sayang jika peluang besar seperti diabaikan. Perluang besar artinya generasi milenial menjadi segmen strategik sebagai konstituen masa depan. Menjadi catatan khusus di sini juga, depan Bawaslu Demak perlu membangun komunikasi yang intens dan berkelanjutan.   Sinergi dan kerjasama dengan konten kreator perlu dijalin untuk menyebarkan literasi kepemiluan melalui platform digital. Tidak hanya itu penyebaran informasi yang benar secara masif oleh para konten kreator dapat mencegah penyebaran berita bohong. Kenapa berita hoaks menyebar, sebaliknya berita benar tidak tersebar?  

Memangkas kecenderungan ini perlu kiat sistemik dengan speed terukur untuk menyebarkan berita benar. Strategi media adalah jurus ampuh yang tidak boleh ditinggalkan. Pengamatan saya politisi politisi papan atas unggul di surveri tidak lain karena strategi ini.  Fenomena popularita Joko Widodo, Ganjar Pranowo, dan menyusul Gibran adalah tokoh yang terlahir karena legitimasi Medsos juga. Artinya upaya memaksimalkan medsos sebagai pilar penyangga diseminasi informasi akan membuat demokrasi di Indonesia semakin baik.  

Agenda yang juga perlu dilakukan adalah menggandeng berbagai platform baik itu Facebook, Twitter, Whatsapp, Instagram, dan platform digital lainnya untuk menyediakan informasi atau edukasi kepemiluan. Mekanisme kroscek data ketika muncul berita berita miring perlu didesign peta peta jalan yang sama. Kalau informasi kepemiluan itu hadir di setiap platform, mau tidak mau masyarakat akan mengklik dan meminimalisasi distorsi yang ada. 

Bagaimana Menangkali Hoaks  

Soal hoaks ini Bawaslu perlu memberikan perhatian serius juga. Media sosial (medsos) adalah tangan panjang paling pas untuk menjadi benteng pencegahan terkait hoaks dan ujaran kebencian yang kerap ditemukan dalam pemilu maupun pemilihan.  Merujuk Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, disebut adanya sanksi, yakni denda jika perusahaan digital tidak mematuhi peraturan tersebut. 

Nah di sinilah dalam upaya meningkatkan kualitas pemilu, melalui optimalisasi tahapan tahapan yang ada agenda di atas perlu dilakukan. Rumusan tentang strategi penanganan disinformasi dan ujaran kebencian dalam medsos dalam bentuk Peraturan KPU (PKPU) publik harus paham agar tidak terpeleset hal yang negative apalagi masuk ranah pelanggaran UU ITE. 

Tegasnya,  ke depan pengawasan media sosial (medsos) harus lebih jeli. Menangkali pelanggaran di medsos dialog untuk antisipasi bersama perlu dibangun antarpihak sehingga bisa dipastikan apakah masuk dalam ranah pelanggaran pemilihan (pilkada) atau bukan. Fenomena yang lazim marak adalah kampanye hitam yang sengaja diunggah di media sosial.  Celakanya lagi, banyak konten medsos yang dibuat-buat seakan isi konten tersebut adalah milik salah satu pasangan calon (paslon). Padahal sesungguhnya itu merupakan berita bohong atau informasi hoaks yang sengaja diracik untuk kepentingan kepentingan politik.

Untuk itu, semua pihak dapat lebih hati-hati dalam melihat suatu konten medsos yang berisi tindakan politik secara individual.   Medos adalah panggung dan ruang public yang menjadi muara bagi masyarakat untuk bisa berbicara sesuai dengan konstitusi. Namun demikian kebebasan dan hak itu bukanlah hal yang merusak, apalagi memecah belah bangsa. Dengan begitu jika ada kesengajaan membuat kontens konten hoaks/kampanye hitam menjadi sebuah produk itu kejahatan dan merusak demokrasi dan produk demokrasi itu sendiri, maka sesungguhnya menjadi PR dan tanggung jawab kita bersama.    

Jayanto Arus Adi, adalah Tenaga Ahli DPR RI Komdisi II, Ahli Pers Dewan Pers, Direktur JMSI Institute, Satu Pena Indonesia, Dosen dan Mahasiswa S3 Manajemen Kependidikan Unnes Semarang. 

 Tulisan atau opini ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili organisasi atau lembaga di atas.