Dekan FKM Undip: Ketaatan Dan Kesadaran Terhadap Prokes, Kunci Menekan Penularan Covid-19

Ketaatan dan kesadaran masyarakat terhadap penerapan protokol kesehatan, menjadi kunci sukses untuk menekan laju penularan dan penyebaran Covid-19.


Ketaatan dan kesadaran masyarakat terhadap penerapan protokol kesehatan, menjadi kunci sukses untuk menekan laju penularan dan penyebaran Covid-19.

Ketaatan itu juga perlu dukungan tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk selalu mengingatkan pentingnya prokes.

"Upaya yang dilakukan pemerintah melalui operasi, penindakan, dan kegiatan lain oleh aparat gabungan, petugas kesehatan dan petugas lain, saya kira sudah baik dan tetap harus dilakukan untuk tetap menegakkan protokol kesehatan. Namun demikian perlu upaya lain, misalnya melalui ajakan rutin terutama pada tingkat keluarga dan masyarakat, melalui tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk memberikan penekanan pentingnya protokol kesehatan," ujar pakar kesehatan masyarakat Universitas Diponegoro (Undip), Dr Budiyono, SKM, M.Kes, kepada RMOL Jateng, Kamis (20/5).

Budiyono, yang juga Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Undip itu, mengatakan, tokoh masyarakat dan tokoh agama berperan untuk mencegah
agar masyarakat tidak melakukan kegiatan berkerumun atau mengikuti acara yang mengundang kerumunan.

Para tokoh agama dan tokoh masyarakat juga untuk tidak mendukung/tidak mengijinkan (untuk sementara waktu), jika ada acara yang berpotensi menjadi kerumunan warga. Di sini juga butuh hadirnya pemerintah, bahwa masih ada potensi penularan Covid-19, sehingga kegiatan-kegiatan yang mengundang kerumunan tidak boleh dilakukan," tegas pakar kesehatan lingkungan ini.

Dia mengakui, kemauan dan kemampuan menahan diri ini yang tidak mudah dilakukan oleh warga masyarakat. Hal ini karena acara-acara bertemu sanak-keluarga sudah menjadi tradisi sebelum, saat dan seusai lebaran (syawalan). Demikian halnya acara berkunjung ke tempat hiburan atau piknik ke objek wisata.

Di sisi lain, barangkali masyarakat sudah jenuh tinggal di rumah. Pemilik tempat hiburan dan destinasi wisata juga berperan mengendalikan pengunjung. Kuncinya, kembali pada ketaatan masyarakat.

"Pelarangan mudik yang saat itu diberlakukan, sudah tepat, namun ya seharusnya sejak awal dilarang, jangan diperketat saja. Kecuali, bagi warga yang membutuhkan pertolongan atau dalam kondisi darurat, dibolehkan dengan syarat tertentu, terutama prokol kesehatan ditaati. Karena faktanya, banyak yang mudik, dan ada sekitar 60-an persen positif Covid-19. Artinya mereka membawa virus. Kalau hal itu lolos, yang bisa dibayangkan adalah peningkatan penularan di tempat tujuan mereka," ungkapnya.

Ketaatan masyarakat terhadap prokes itu, menurut Budiyono, juga harus betuk-betul dilakukan, karena fakta menunjukkan bahwa ternyata mereka yang sudah divaksinasi pun masih bisa terpapar Covid-19.

"Vaksinasi sudah bagus, namun masyarakat harus terus menerus diedukasi agar tidak eforia dan abai terhadap prokes. Seperti kita lihat keseharian di jalan, ada sebagian warga masyarakat yang sudah tidak taat prokes, tidak mengenakan masker. Orang-orang seperti itu perlu terus diedukasi. Kita tidak boleh bosan untuk melakukan edukasi, promosi, termasuk operasi penegakan. Kalau kita bosan, maka kita akan kalah dan potensi kasus akan meningkat," tegasnya.

Dia juga menyoroti kembali munculnya klaster pasar tradisional paska lebaran. Menurut Budiyono, saat terjadi klaster di pasar tradisional, pemerintah sudah mengupayakan beragam cara, seperti menyediakan tempat cuci tangan, membagikan masker, mengatur alur masuk dan keluar, memberi jarak/sekat antara pedagang dan pembeli, termasuk shift berjualan, serta penyemprotan desinfektan.

"Namun, sekali lagi intinya pada ketaatan antara pedagang, masyarakat sebagai pembeli, dan pengelola pasar. Peran pemerintah untuk terus mengawasi sangat penting, misalnya melalui petugas Satpol PP dan petugas pasar, agar semuanya menaati prokes," tandasnya.

Mengenai temuan survei PP Muhammadiyah bahwa ternyata banyak masyarakat yg tidak percaya adanya virus Covid-19, menurut Budiyono, hasil survei itu dapat dijadikan instropeksi, apakah yang dilakukan oleh pemerintah, ahli, petugas kesehatan, dan stakeholders lain selama ini sudah berhasil atau belum.

"Itu juga bagus untuk teman-teman dari Muhammadiyah atau kelompok lain atau pemerintah untuk melakukan pendekatan dan mengedukasi masyarakat yang belum percaya.
Barangkali ada masyarakat yang tinggal jauh dari informasi atau terpencil/terisolir atau yang tidak pernah melihat, mendengar informasi yang selama ini diberikan pemerintah, atau yang tidak pernah keluar bersama tetangga/teman, barangkali itu bisa saja terjadi. Namun itu juga bisa terjadi di masyarakat secara umum yang tidak terisolir informasi. Misalnya belum atau tidak ada pengalaman nyata misalnya kolega, etangga, teman, keluarga yang terpapar infeksi Covid-19 atau gejala infeksinya, maka bisa jadi orang tersebut tidak mempercayai. Mungkin saja, hal itu merupakan ekspresi kejenuhan, sehingga menganggap virus itu tidak ada. Namun demikian yang lebih penting adalah melakukan upaya pemahaman secara terus-menerus dan tidak bosan, apalagi menyerah, baik yang dilakukan oleh petugas kesehatan, pemerintah, tokoh masyarakat, kelompok/organisasi agama/massa, akademisi dll, untuk menyadarkan masyarakat bahwa pandemi adalah ancaman nyata di depan mata dan musuh bersama yang harus dihadapi dengan cara menaati prokes dan 5 M dengan penuh tanggung jawab," pungkasnya. [sth]