- Ratusan Koleksi Manuskrip Dan Buku Dipamerkan Di Graha Wisata Niaga Solo
- Gelar Karya Pendidikan Jadi Ikon Baru Implementasi Kurikulum Merdeka
- Gelar TCF, Dinas Pariwisata Demak Dongkrak Ekonomi Industri Kecil
Baca Juga
Baru-baru ini, tradisi Ewuh Grubyukan dilangsungkan sebagai bagian dari pernikahan seorang warga di Dusun Tanjung, Desa Kerjo Kidul, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Wonogiri.
Ewuh Grubyukan sendiri memiliki makna yang menarik. "Ewuh" dapat diartikan sebagai acara, sementara "Grubyukan" merujuk pada rombongan.
Dalam tradisi ini, saat terjadi perayaan pernikahan atau acara resepsi, pihak laki-laki akan membentuk rombongan yang terdiri dari puluhan orang.
Tradisi Ewuh Grubyukan tidak hanya melibatkan pria, tetapi juga wanita. Biasanya, mereka mengumpulkan amplop yang berisi uang sebagai tanda partisipasi.
Selanjutnya, amplop-amplop tersebut dikumpulkan menjadi satu dan dibawa oleh keluarga dan rombongan sebagai urun seserahan.
Uang yang terkumpul kemudian digunakan untuk kebutuhan dapur mempelai. Melalui tradisi ini, masyarakat setempat ingin menunjukkan rasa kebersamaan dan saling membantu antara tetangga, kerabat, serta saudara.
Pada tradisi Ewuh Grubyukan, terdapat beberapa elemen yang turut menjadi bagian penting dalam perayaan pernikahan di Wonogiri. Salah satunya adalah tata cara persembahan uang.
Menurut narasumber yang merupakan warga Dusun Tanjung, Desa Kerjo Kidul, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Wonogiri yang bernama Ibu Parni, saat melangsungkan prosesnya, pihak laki-laki diharapkan membawa minimal uang sebesar 10 juta rupiah sebagai simbol tanggung jawab dalam membangun kehidupan berumah tangga.
Selain perhiasan, terdapat pula seserahan yang disiapkan oleh pihak laki-laki untuk diberikan kepada pihak perempuan.
Seserahan ini berupa rangkaian benda yang memiliki makna simbolis, seperti pakaian, perhiasan, atau benda-benda lain yang memiliki nilai keindahan dan kegunaan dalam kehidupan sehari-hari.
Seserahan menjadi simbol cinta dan komitmen dari pihak laki-laki kepada calon istri. Terdapat pula tradisi "Gotongan" juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam Ewuh Grubyukan.
Gotongan merujuk pada kelapa yang disusun secara berjenjang dan dihiasi dengan teknik pernis yang menghasilkan kilauan yang memukau.
Proses pemberian gotongan ini melibatkan pihak keluarga pengantin laki-laki dan pengantin perempuan sebagai simbol kesatuan dan kerjasama antar dua keluarga yang akan bersatu melalui pernikahan.
Seluruh elemen tersebut memiliki nilai-nilai tradisional dan simbolis yang penting dalam konteks budaya Wonogiri.
Masyarakat setempat meyakini bahwa melalui persembahan uang, seserahan, dan gotongan, akan terjalin keharmonisan dan kesepahaman antara kedua belah pihak dalam membangun rumah tangga yang bahagia dan berkelanjutan.
Dalam keseluruhan konteks, Ewuh Grubyukan menjadi wujud nyata bagaimana tradisi pernikahan di Wonogiri menggabungkan nilai-nilai budaya, kebersamaan, dan kekompakan dalam upaya membangun hubungan yang harmonis dalam keluarga dan masyarakat.
Melalui artikel ini diharapkan dapat berperan dalam mempromosikan dan memperkenalkan tradisi ini kepada masyarakat luas, sehingga keberadaan budaya lokal tetap terjaga dan diapresiasi sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas Wonogiri.
- 140 Bangunan Cagar Budaya di Salatiga Masuk Dokumen Inventarisasi
- Keraton Solo Bakal Direvitalisasi
- Solo Keroncong Festival 2024 Suguhkan Pergelaran Seni Keroncong Lintas Genre