Filosofi Jalan Kaki Theresia Tarigan

Theresia Tarigan bersama aktivis Koalisi Pejalan Kaki Semarang (KPKS) saat berjalan kaki sambil berbagi masker kepada pengendara bermotor di depan Lawangsewu, Semarang. / foto-foto. dok. KPKS
Theresia Tarigan bersama aktivis Koalisi Pejalan Kaki Semarang (KPKS) saat berjalan kaki sambil berbagi masker kepada pengendara bermotor di depan Lawangsewu, Semarang. / foto-foto. dok. KPKS

‘’Duduklah sesedikit mungkin, jangan percayai ide apapun yang tidak lahir dari udara terbuka dan gerakan kaki yang bebas!’’ Kutipan atau quote itu berasal dari Friedrich Wilhelm Nietzsche, seorang filsuf Jerman ternama yang juga ahli ilmu filologi, sekaligus kritikus budaya, penyair dan komposer. Quote keren itu dipakai dalam buku A Philosophy of Walking (Filosofi Jalan Kaki) karya Frederic Gros, pengarang asal Prancis.


‘’Saya mengalami banyak hal baik dan menggembirakan dengan berjalan kaki,’’ demikian diungkapkan Theresia Tarigan, kepada RMOL Jateng, dalam perbincangan di siang yang cukup eksotis, Senin (6/9). 

Tere, sapaan akrabnya, telah enam tahun ini setia mempertahankan filosofi berjalan kaki bersama para aktivis Koalisi Pejalan Kaki Semarang (KPKS). Dengan berjalan kaki, kata perempuan energik kelahiran Tebing Tinggi, Sumatera Utara ini, ‘’Saya bisa melihat desain bangunan yang saya lewati, melihat yang bagus, yang indah atau mengejutkan dari aktifitas orang-orang, atau mendapat info tempat-tempat yang mungkin saya butuhkan suatu saat,’’ tutur ibu dari tiga anak laki-laki, yang beranjak dewasa ini.

Seringnya aktivitas berjalan kaki, kata Tere, menjadi kesempatan bertegur sapa dengan orang yang kita temui. ‘’Pastinya, membuat tubuh kita menjadi aktif, ringan dan sehat. Demikian juga pikiran karena syaraf mata kita kendor dengan pandangan jauh, berbeda dengan saat melihat ponsel.  Banyak tanaman, ornamen kota seperti lampu-lampu Kota Semarang yang  bisa dinikmati hanya dengan berjalan kaki,  berhenti sesaat melihatnya lebih detail. Rupanya ini sejalan dengan Frederic Gros dalam bukunya yang terkenal itu, A Philosophy of Walking,’’ papar Tere.

Bagi Tere, dengan berjalan kaki ke warung dan ke kolam renang, menjadi kesempatan bertegur sapa dengan tetangga di rumah yang baru ditempatinya di Jalan Lempuyang, Banyumanik.  ‘’Saling mengenal tetangga membuat kita punya pengalaman baru. Saya jadi mengetahui ada tetangga yang jual nanas madu sangat murah, ada yang punya usaha katering, ada tetangga janda dengan anak 4 yang perlu dibantu. Banyak hal menjadi pengalaman hidup yang sangat menarik dan membahagiakan dengan rutin berjalan kaki.’’

Wajah Kota yang Humanis

Filosofi jalan kaki yang dilakukan Tere, bukan aksi jalan kaki biasa. Lewat jalan kaki, Tere punya obsesi lain yang lebih jauh dan bermakna, mewujudkan wajah kota yang lebih humanis. Tak heran, tema itu pula yang dibawanya saat aksi perdana KPKS di depan air mancur Jalan Pahlawan Semarang, pada 6 Februari 2015 silam. Aksi tematik itu diikuti aksi kedua bertema “Peningkatan Kualitas dan Fungsi Trotoar bagi Pejalan Kaki dan Penyandang Disabilitas”, dan aksi ketiga bertema “Selamatkan Pejalan Kaki” yang diselenggarakan di depan eks Wonderia Semarang.

Melalui aksi-aksi tersebut, KPKS ingin membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya berjalan kaki dan menggunakan transportasi publik.  Selain itu, KPKS  juga mendorong pemerintah agar  menyediakan fasilitas publik sesuai dengan Pasal 25 dan Pasal 125 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

Aksi perdana KPKS saat berdialog dengan Kepala Dinas Bina Marga Iswar Aminudin (kini Sekda Kota Semarang) dan Kepala Dinhub Kominfo Agus Hermunanto, Jumat (6/2/2015) di depan air mancur Undip, Jalan Pahlawan Semarang.

Untuk aksinya itu, Tere dan aktivis KPKS tanpa sungkan membawa poster berisi ajakan bertuliskan utamakan keselamatan pejalan kaki atau trotoar bukan tempat parkir  di beberapa jalan protokol untuk menarik perhatian pengendara bermotor maupun pejalan kaki yang melintas.

KPKS juga beraudiensi dengan Walikota Semarang Hendrar Prihadi, hingga Gubernur Jateng Ganjar Pranowo meminta pembangunan trotoar yang ramah difabel dan jembatan penyeberangan orang (JPO) yang humanis.

‘’Saya bahkan sering banget WA Mas Hendi, juga aktivis KPKS Bu Ratri dosen Upgris yang juga teman SD-nya Mas Hendi, minta agar dibangun trotoar dan JPO yang humanis bagi pejalan kaki, termasuk para difabel,’’ ungkap insinyur lulusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITB ini.

Rupanya,  permintaan dan rekomendasi yang disampaikan Tere dan KPKS disambut baik Hendi. Permintaan pembangunan trotoar yang lebar dan tidak licin, akhirnya benar-benar direalisasikan oleh Hendi.

‘’Dulu trotoar di Jalan Kelud Raya sempit , di Jalan Thamrin licin, sekarang sudah bagus.  Respon Mas Hendi luar biasa, salut. Tapi, yang di Jalan WR Supratman malah saya nilai berlebihan karena pakai batu alam, yang mahal banget,’’ imbuhnya.

Kendati begitu,  Tere berharap, perubahan wajah Kota Semarang yang lebih humanis,  bukan hanya di tengah kota, melainkan juga di permukiman warga. Menurut Tere, penyediaan fasilitas dari Pemkot masih  fokus pada pusat kota dan area publik  terkenal di pusat kota.  Namun, secara umum, Tere memuji langkah besar Hendi yang telah membuat wajah Kota Semarang yang humanis dan juga indah.

‘’Kelebihannya kota kita sekarang bersih dan cantik di malam hari.  Itu sudah bagus, tapi alangkah baiknya taman, trotoar, dan lampu penerangan jalan seharusnya merata menyebar dari pusat kota hingga  pinggiran kota,’’ papar perempuan lulusan Program Magister Lingkungan Perkotaan Unika Soegijapranata ini.

Kiprahnya berjuang untuk wajah kota yang humanis, terinspirasi pengalamannya saat menetap di Singapura  pada 1994. Saat itu, dia menerima beasiswa Asean Visiting Student dari Singapore International Foundation.

‘’Saya sudah ke Malaysia, Australia,  Eropa Barat, di sana tersedia ruang publik yang ramah bagi pejalan kaki, juga transportasi publik yang menjadi pilihan utama bagi warga. Jalan kaki, naik angkot, naik angkutan umum harus kita populerkan untuk semua lapisan masyarakat demi lingkungan hidup yang lebih baik di masa depan,’’ ungkap istri dari Ir Jimmy Bonar dan ibu dari Gavin, Damor, dan Ian, ini.

Kritik untuk Trans Semarang

Sebagai Koordinator Komunitas Peduli Transportasi Semarang (KPTS), pengagum Menkeu Sri Mulyani ini mengatakan, misi angkutan umum Trans Semarang seharusnya sudah menargetkan kalangan menengah menjadi penumpangnya.

‘’Usia Trans Semarang sudah lebih 12 tahun, jangan malah menurun kualitas pelayanannya.  Trans Jateng baru 4 tahun sudah memiliki bus yang low entry sehingga tidak mesti ada halte tinggi, karena banyak menimbulkan kesulitan bagi penumpang maupun pramudi,’’ tegas perempuan yang punya motto hidup Right from beginning (benar sedari awal) ini.

Tere menilai, manajemen Trans Semarang juga terkesan tidak terbuka pada kritikan.  Dia juga meminta Pemkot untuk menghargai ASN yang pergi kerja menggunakan transportasi publik. Hendi belum memberi reward kepada ASN yang  berangkat dan pulang kerja  menggunakan angkutan umum.

‘’Saya juga belum melihat Trans Semarang menjadi bagian dari perjalanan pekerja dan anak sekolah sehingga feeder Trans Semarang tidak memadai. Feeder yang sudah ada 4 koridor, tapi justru di wilayah yang bukan potensial, maka tidak heran dari 100 armada jalan, hanya terisi tiga orang penumpang.  Ini pemborosan anggaran saja. Ke depannya, Pemkot perlu menyediakan feeder untuk kebutuhan pekerja pabrik, ASN, dan anak sekolah jika sudah mulai PTM,  agar menjadi satu kesatuan berjalan kaki dari rumah ke feeder, dan dari feeder ke angkutan umum dan berjalan kaki lagi ke tujuan,’’ paparnya.

Bersama aktivis Komunitas Peduli Transportasi Semarang (KPTS), Tere naik Trans Jateng koridor Stasiun Tawang-Bawen, Jumat (3/9).

Lantas mengapa transportasi publik di negeri ini kurang laku di masyarakat? Tere punya pendapat. Hal itu karena kita terlalu banyak  disubsidi oleh pemerintah, termasuk dalam berkendara pribadi.

‘’Pajak mobil murah, parkir murah, kebebasan punya mobil walau tidak punya garasi, tidak ada aturan dan sanksi yang tegas jalan umum menjadi garasi. Bisa mencicil mobil dan mudahnya mendapat SIM, sehingga orang bisa punya beberapa  mobil dan motor yang memberatkan pemerintah dalam pembangunan dan perawatan jalan raya. Terjadi perebutan ruang di jalanan, sehingga tak ada tempat untuk parkir dan taman,’’ tandasnya.

Dia mengatakan, ada pihak-pihak yang mendapat keuntungan dari banyaknya kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi  di negeri ini. Padahal, akibatnya kemacetan, polusi udara, kecelakaan  lalu lintas menjadi suguhan sehari-hari.

‘’Mengapa pemerintah tidak punya upaya membuat pemilik motor dan mobil menanggung biaya yang sesungguhnya. Akhirnya publik yg menanggung biaya lain dari orang yang punya kendaraan pribadi. Trotoar tidak ada karena semua untuk jalan, udara panas karena pohon dibabat untuk bangun jalan, dll. Ini externalities yang ditanggung publik. Tidak fair sebenarnya,’’ ungkapnya prihatin.

Melalui aktivitasnya itu, Tere ingin mewakili lingkungan hidup yang semakin buruk, tapi juga lingkungan yang tidak bisa bicara.

‘’Saya juga ingin mempengaruhi alokasi anggaran agar bisa lebih memberi manfaat pada perbaikan lingkungan hidup maupun masyarakat berpendapatan rendah agar mendapat fasilitas transportasi yang aman dan terjangkau,’’ ujarnya.

Sampai kapan? ‘’Selamanya,’’ ujar perempuan yang hobi traveling dan berkebun ini.